'' Personal Branding” di TahunPolitik

PRINDONESIA.CO | Kamis, 21/03/2019 | 5.492
Muhammad Zulkifli, Senior PR Consultant - PRecious Communications Pte Ltd.
Dok. PR INDONESIA

"Produk itu dibuat di pabrik. Tapi brand dibuat di pikiran" (Walter Landor)

Oleh Muhammad Zulkifli, Senior PR Consultant - PRecious Communications Pte Ltd.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Ada beberapa perbedaan dari parpol dan caleg dalam melakukan kampanye politik.  Sebagian ada yang menggunakan cara-cara “old school” seperti pasang spanduk, pamflet, bikin baksos, dan menyebar brosur. Sebagian lagi ada yang mulai menggunakan cara-cara “zaman now” seperti main di media sosial, menciptakan komunitas hobi, membuat channel Youtube, dll. Semua itu dilakukan sebagai bagian dari proses personal branding.

Dalam bahasa Indonesia, brand berarti merek. Lebih jauh lagi, brand adalah persepsi. Apa persepsi Anda ketika mendengar “Lux”? Sabun kecantikan. Apa persepsi Anda ketika mendengar “BMW”? Mobil berdesain mewah. Apa persepi Anda ketika mendengar “Jokowi”? Ketika mendengar “Prabowo”?

Branding adalah proses untuk meningkatkan nilai ekuitas. Salah satu platform e-dagang lokal yang sudah menjadi unicorn di Indonesia membutuhkan Rp 500 miliar agar brand-nya melekat dalam pikiran. Sebab manfaat branding itu minimal ada tiga. Pertama, menaikkan harga jual. Kedua, investasi masa depan. Ketiga, menciptakan brand-brand baru di bawahnya. Jadi, Rp 500 miliar itu bukan biaya, tapi investasi.

Kapan harus melakukan proses branding? Saat kita punya kompetitor. Untuk melakukan branding, dibutuhkan sebuah cerita (brandstory). Cerita yang bagus adalah cerita yang memiliki bobot emosional yang tinggi. Semakin cerita itu bisa mengaduk-ngaduk emosi, semakin besar peluang orang untuk mengingat dan pada akhirnya memilih. Tanpa mengabaikan pentingnya visi misi, program kerja atau apapun itu, namun orang memilih karena emosionalnya terikat. Karena rasa, bukan logika.

Emosi Publik

Untuk membuat sebuah cerita, cara sederhananya, temukan alasan tentang kenapa kita memilih atau melakukan sesuatu. Misal, kenapa kita mau tinggal di Bogor? Ada yang menjawab karena orang tua di Bogor, karena kuliah di Bogor, atau harga rumah di sana murah.

Dari alasan-alasan tersebut, apa yang bisa membangkitkan emosi publik? Misalnya, karena harga murah. Bisa didramatisasi, rasanya sulit membeli rumah di Jakarta, jadi memutuskan membeli di Bogor. Konsekuensinya harus berangkat pagi buta ke tempat kerja di Jakarta, pulang malam saat anak-anak sudah tidur. Maka keinginan menjadi anggota dewan di daerahnya adalah agar bisa mendorong pemerintah membuka lapangan kerja di Bogor.

Berbagai kejadian di sekitar kita pun bisa dijadikan cerita. Tentang penyakit, tentang guru ngaji yang nyambi kerja sebagai pemulung, tentang suami yang ditinggal istrinya kerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga, dll. Tugas caleg untuk mengolah bagaimana cerita-cerita itu dikombinasikan dengan visi misi. Beri sentuhan emosional agar lebih  menggigit sehingga proses political branding menjadi optimal. Tujuan akhir dari proses ini adalah orang merekomendasikan caleg tersebut untuk dipilih. Prosesnya sederhana, dari yang tidak tahu tentang calon tersebut, akhirnya menjadi tahu. Dari tahu, menjadi kenal. Dari kenal, menjadi suka. Dari suka, menjadi pilih.

Jangan lupa, sebelum proses di atas, terlebih dulu para calon politisi harus membangun reputasi positif melalui kegiatan public relations (PR). Tugas praktisi PR dari masing-masing caleg/ parpol ini mengemas calonnya agar memiliki citra yang kuat, bukan sekadar positif. Hal ini agar publik mudah mempersepsikan personality caleg/parpol sesuai dengan tujuan branding-nya.

Selengkapnya baca PR INDONESIA versi cetak dan SCOOP edisi 47/Februari 2019. Hubungi Sekhudin: 0811-939-027, [email protected]