Beberapa saat lalu, saya terima pesan via WhatsApp yang isinya: “Kita ketemu, yuk, Mbak. Ada bisnis 4.0 yang perlu bantuan public relations (PR).” Sebenarnya apa itu revolusi industri 4.0?
Dari Ventura Elisawati, Managing Director Inmark Digital
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Dalam buku The Fourth Industrial Revolution (2017), Profesor Klaus Schwab menyebutkan saat ini kita berada pada awal sebuah revolusi yang secara fundamental mengubah cara hidup, bekerja, dan berhubungan satu sama lain. Perubahan itu sangat dramatis dan terjadi pada kecepatan eksponensial.
Revolusi industri 4.0 ditandai dengan berkembangnya internet of/for things (IoT) yang diikuti teknologi baru dalam data sains, artificial intelligent/kecerdasan buatan, robotik, cloud, cetak 3D, dan teknologi nano. Kehadirannya begitu cepat. Robot cerdas, seluler supercomputer, mobil self-driving, peningkatan otak neurotechnology, pengeditan genetik muncul di mana-mana. Itulah bukti perubahan dramatis dan terjadi dengan kecepatan eksponensial.
Pernah terbayangkah jika suatu ketika reporter yang menghubungi narasumber adalah robot jurnalis? Pada 9 Februari 2019 ada tulisan menarik di New York Times bertajuk “The Rise of Robot Reporter”. Era di mana wartawan banyak di-PHK dan produk jurnalisme digital yang dihasilkan mesin terus meningkat. Sekitar sepertiga dari konten yang diterbitkan Bloomberg News menggunakan beberapa bentuk teknologi otomatis, Cyborg (robot). Di Indonesia, pada Februari 2018, sebuah situs media beritagar.id memperkenalkan Robotorial. Memberdayakan teknologi kecerdasan buatan untuk memproduksi konten secara otomatis. Selamat datang di era media 4.0.
Media dan wartawan adalah stakeholder utama PR/humas. Mau tidak mau, suka tidak suka, dunia kehumasan juga harus bertransformasi agar bisa inline dengan dunia di sekitarnya. Jika industrinya sudah 4.0, medianya juga 4.0, tentu PR nya pun harus selaras. Lalu transformasi seperti apa yang harus dilakukan PR?
PR harus kompeten. Seorang PR tidak boleh pewe (posisi wenak), tidak boleh gaptek, harus mengikuti perkembangan tren dunia. Intinya: terus belajar, memperbaharui pengetahuan, ketrampilan di bidang teknologi informasi maupun lainnya. Humas mesti bisa memetakan media, mana yang sudah meluncur ke era media 4.0, mana media yang masih bertahan di 3.0. Dengan begitu ia bisa mengerti kebutuhan setiap media.
Ada di mana-mana
PR harus Ada “di mana mana”. Stakeholder PR, utamanya wartawan, era sekarang ada di mana-mana, secara fisik maupun nonfisik. Wartawan tidak hanya ada saat wawancara, press conference, tapi mereka juga memantau di berbagai kanal. Saya kerap “bertemu” wartawan di Facebook, Twitter, Instagram, grup WhatsApp, atau Line. PR perlu cerdas menempatkan diri di mana saja, bergaul secara fisik maupun nonfisik. Misal, memantau isu menggunakan monitoring digital tools, lalu memilah di mana saja PR harus terlibat melakukan engagement secara langsung.
PR harus kreatif. Agar pesan yang ingin disampaikan dapat memberikan efek langsung kepada target. Di era storytelling saat ini, PR juga harus piawai meramu narasi yang pas, dikolaborasikan dengan visual yang sesuai sasaran pesan. PR era 4.0 membutuhkan digital content creator, videographer, infographic, ads specialist, digital monitoring, analisis, dan lainnya.
Setiap era mempunyai tantangannya sendiri, begitu pula era 4.0, yang terkesan kompleks dan 360 derajat. Dengan terus belajar dan memperbaharui diri, PR di era ini akan menjadi makin vital bagi institusi, lembaga, maupun korporasi. Karena PR menjadi mata, telinga, filter, sekaligus menjadi jembatan dengan stakeholder untuk membangun reputasi institusi.
- BERITA TERKAIT
- Kunci Utama Memimpin Tim Tetap Solid di Tengah Krisis Komunikasi
- Demokrasi di Meja Makan
- Peran Pengelolaan “Stakeholder” Mendukung Penerapan ESG dan Keberlanjutan
- Pentingnya Juru Bicara dalam Membangun Kredibilitas IKN
- Begini Rahasia Sukses Konferensi Pers