Jatuh bangun menjaga performa seorang Tri Rismaharini hingga reputasi Kota Surabaya di hadapan para pemburu berita, telah dijalani oleh Muhammad Fikser dengan segenap jiwa.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Bagai petir di siang bolong. Begitulah yang dirasakan oleh Fikser ketika dirinya dilantik sebagai pengatur lalu lintas komunikasi bagi Pemerintah Kota Surabaya pada tahun 2013. Rasanya mustahil ia bisa menjadi punggawa humas, jika dilihat dari latar belakang kariernya yang malang melintang sebagai lurah hingga camat. Terlebih selepas dilantik, ia tak diberi waktu untuk menyesuaikan diri dengan jabatan barunya. “Kagetnya minta ampun. Begitu dilantik, saya langsung bekerja sebagai Kabag Humas hari itu juga,” ujarnya ketika dihubungi PR INDONESIA di Surabaya, Selasa (7/5/2019).
Bicara tentang sosok perempuan pertama yang menjabat sebagai Walikota Surabaya dengan segudang prestasi, ini tak terlepas dari peran vital humas dibaliknya. Segala sesuatu yang berkaitan dengan gerak-geriknya selalu jadi sorotan. Hal inilah yang dirasakan oleh Fikser sebagai isu paling krusial selama enam tahun perjalanan kariernya sebagai Kepala Bagian Humas Pemerintah Kota Surabaya. Terlebih jika wartawan mulai mengulik tentang kehidupan pribadi dan karier politik dari Walikota terbaik tahun 2014 itu.
Dirinya mengaku mengalami dilema berat. Satu sisi, bukan menjadi ranahnya untuk menjawab persoalan yang terkait pribadi Risma. Di sisi lain, jika dirinya tidak tampil, dikhawatirkan Walikota Risma akan menjadi bulan-bulanan media. “Sebagai humas, kita sangat menjaga agar kepala daerah tidak “dimainkan” oleh isu-isu negatif,” ujarnya.
Menurut Fikser, ada dua strategi yang dapat dilakukan oleh humas pemerintah (government public relations/GPR) untuk menjawab tantangan itu. Pertama, humas harus pandai bermain dengan interval waktu. Meskipun pimpinan menolak untuk memberikan pernyataan langsung kepada wartawan, tapi humas harus berani berterus terang kepada pimpinan tentang suasana yang sebenarnya, sekaligus potensi meluasnya isu jika dibiarkan terus berlarut-larut.
Sebaliknya yang kedua, humas juga berkewajiban memberikan pengertian kepada media tentang suasana hati sang pimpinan, untuk merespons isu tersebut. Dengan catatan, tidak dituangkan ke dalam pemberitaan. “Begitu timing-nya tepat, kita ketemukan Walikota dengan media. Dimana keduanya sudah pada suasana yang saling menghargai dan menjaga,” pungkas ayah dari tiga anak itu.
Agen Informasi
Menyadari pentingnya peran humas dalam menjembatani komunikasi antara Pemerintah Kota Surabaya—Walikota serta seluruh jajaran Organisasi Perangkat Daerah (ODP)—dengan masyarakat melalui media, menuntut Fikser dan tim selalu jeli dalam memainkan perannya. Fungsinya makin strategis tatkala humas dituntut serba tahu. Agen-agen informasi pun perlahan mulai ia bangun melalui kekuatan jejaringnya. “Karena kedekatan kami dengan wartawan, maka mereka akan menginformasikan sesuatu yang akan terjadi di kota ini,” kata pria yang tak pernah absen untuk berkomunikasi via telepon dengan keluarganya, di tengah kepadatan jadwal bekerja.
Saking dekatnya dengan media, mantan Camat Sukolilo ini mengenal secara personal baik itu wartawan, institusi media, sampai organisasi kewartawanan. Fikser mencoba membangun kesan bahwa pemerintah kota-lah yang membutuhkan media, bukan sebaliknya. “Kita sama-sama tahu tugas dan porsinya masing-masing. Mereka tahu mana yang harus dipublikasikan, dan kita (Pemkot Surabaya) diberi ruang untuk memberikan hak klarifikasi,” ujar jebolan Sekolah Tinggi Pemerintah Dalam Negeri (STPDN) Jatinangor ini. (ais)
- BERITA TERKAIT
- Anita Lestari, Pemenang KaHI 2024: Menyatu dengan PR
- Amalia Meutia, Pemenang KaHI 2024: Mengubah Ketidaktahuan menjadi Pengetahuan
- Agdya P.P. Yogandari, Pemenang KaHI 2024: Tidak Sekadar Kerja
- Asri Fitri Louisiana, Pemenang KaHI 2024: Menjalin Relasi, Merawat Bumi
- Dony Indrawan, Best Presenter PRIA 2024: Berani Tampil