Ketua Dewan Pers M. Nuh: “Era 4.0 Jangan Hanya Mengejar Teknologi”

PRINDONESIA.CO | Rabu, 30/10/2019 | 7.321
Teknlogi itu hanya berdasarkan pada logika semata. Sementara manusia memiliki logika, estetika dan etika.
Freandy/PR INDONESIA

Masih ingatkah Anda dengan teori evolusi Charles Darwin? “Yang mampu bertahan bukanlah mereka yang paling kuat atau cerdas, tapi yang paling mampu beradaptasi.” Menurut Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh, teori tersebut tepat menggambarkan era disrupsi yang sedang kita hadapi saat ini.   

BALI, PRINDONESIA.CO – Bertempat di Bali, Selasa (29/10/2019), M. Nuh yang didapuk sebagai pembicara di sesi konferensi Jambore PR INDONESIA (JAMPIRO) #5 ini memberikan pandangannya tentang pengaruh digitalisasi terhadap dinamika pers serta tantangan literasi media.

Menurutnya, perubahan yang bergulir cepat dan membuat dunia makin kompleks ini adalah sebuah keniscayaan. Seperti yang diungkapkan oleh Ian Goldin di bukunya yang berjudul Age of Discover. Dalam buku tersebut Goldin mengungkap fakta bahwa kompleksitas sosial tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan dengan kapasitas kognitif. Kondisi ini menimbulkan adanya blind zone. Atau, misteri yang belum diketahui oleh manusia.  

Seperti halnya saat dunia memasuki era Revolusi Industri 4.0 yang bersifat physical-cyber. “Saya menyebutnya gaib,” ujarnya seraya buru-buru menambahkan, “Tapi gaib di sini bukan berarti tidak ada. Tetap ada, namun berada di wilayah yang imajiner,” katanya.

Dengan kata lain, lanjut M. Nuh, perkembangan teknologi di era 4.0 memegang peranan besar dalam menghilangkan sekat antara ruang dan waktu. Meski begitu, yang perlu menjadi penekanan adalah perubahan kecepatan yang dibawa baik oleh teknologi maupun ilmu pengetahuan bersifat sementara alias mudah basi.

Era digitalisasi juga membawa dampak dan perubahan yang besar di dalam industri media. Untuk menyikapi hal tersebut, M. Nuh bersama dengan Dewan Pers membagi fungsi media ke dalam rumus 4E + 1N. Antara lain, sebagai fungsi edukasi publik, pemberdayaan, pencerahan, hiburan, serta keseluruhannya bermuara pada kepentingan nasionalisme.

 

Kompetensi Manusia

Sementara kepada praktisi public relations (PR), M. Nuh mengimbau agar perubahan ini hendaknya tidak disikapi hanya untuk mengejar teknologi melainkan terus mempersiapkan diri dengan cara fokus pada hal yang terkait dengan keahlian manusia. “Teknlogi itu hanya berdasarkan pada logika semata. Tapi, keahlian manusia yang fokus pada komunikasi, kepemimpinan, daya tahan, keingintahuan yang tinggi, pemahaman, serta kemampuan membaca,” ujarnya.

Ia melanjutkan, manusia itu bukan hanya memiliki logika, tapi juga ada estetika dan etika. “Jika kita bisa mengeksplorasi kekuatan itu, maka perubahan apa pun bisa dikejar,” imbuhnya.

Pria yang pernah menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informatika itu juga berpesan agar PR sebagai perpanjangan tangan informasi perusahaan/instansi kepada publik mampu mengubah pola pikir. Pertama, ubah keberadaan media internal dari sekadar media literasi menuju data informasi literasi. Kedua, ubah pola pikir hindsight menjadi foresight (prediktif-antisipatif). Ketiga, bangun budaya higher order thinking. Keempat, bangun ekosistem innovation entrepreneurship atau innopreneurship. Kelima, keutuhan kompetensi yang meliputi karakter, keahlian, dan pengetahuan. (ais)