Berkomunikasi tampaknya tidak sesederhana yang sering dibayangkan. Terlebih jika tidak ada saling empati diantara para pihak yang tengah menjalin komunikasi. Alih-alih tercipta kesamaan pandangan, justru melahirkan rasa curiga. Pada gilirannya, kecurigaan melempangkan jalan bagi terbentuknya gesekan sosial, yang pada ujungnya bisa mendulang konflik sosial.
JAKARTA, PRINDONSIA.CO - Begitulah. Berkomunikasi memang membutuhkan kesetaraan posisi diantara para pelakunya. Karena berkomunikasi tidak semata berupa transfer gagasan. Lebih dari itu, terjadi pula pertukaran karakter. Apabila para pihak yang saling berkomunikasi memiliki kelapangan dada untuk menerima pendapat masing-masing, niscaya proses komunikasi menjadi mulus. Harmoni pun tercipta. Harmoni kesamaan pandangan, maupun harmoni perbedaan.
Perbedaan dalam setiap kelompok hingga bangsa, adalah sebuah pemberian (sunatullah). Sekaligus merupakan anugerah yang patut dirawat. Perbedaan dalam gagasan bisa melahirkan kekayaan sudut pandang. Perbedaan latar belakang sosial, menyumbang warna-warni karakter. Itulah sebabnya, harmoni sosial senantiasa membutuhkan kerelaan untuk "berbagi". Berbagi pendapat, berbagi kisah, hingga berbagi kebijaksanaan.
Di era digital saat ini, fenomena disharmoni berpotensi mengular di mana-mana. Tak pandang bulu strata sosial, ekonomi, bahkan budaya. Narasi-narasi kontraproduktif yang kerap hilir mudik di media sosial, adalah pemicunya. Berlindung di balik anonimitas media sosial, siapapun bisa mengoyak harmoni sosial. Tak butuh lama, cukup beberapa detik hanya dengan memanfaatkan jari jemarinya di gawai.
Topeng Medsos
"Tragedi" polarisasi masyarakat dalam praktik bernegara pada pemilu legislatif dan pemilhan presiden April lalu, sebagian diantaranya adalah buah dari ketidakbijaksanaan memanfaatkan media sosial. Aset sosial turun-temurun warga bangsa berupa toleransi, nyaris tak mampu menjadi katalis bagi potensi disharmoni pilihan politik.
Sifat-sifat kerukunan, solidaritas sosial, tenggang rasa, hampir-hampir tak lagi menampakkan wajah aslinya. Tertutup oleh wajah bertopeng medsos. Harmoni komunikasi mendapatkan "ujian" yang sesungguhnya di era digital ini. Menjauh dari pendekatan digital, jelas tidak mungkin. Namun membiarkan praktik komunikasi yang kontraproduktif di media sosial, sungguh tidak bijaksana.
Meliterasi warga dalam berkomunikasi di era digital adalah langkah tepat untuk mengeratkan kembali harmoni sosial. Disamping itu tentu saja membutuhkan sikap keteladanan dari para pemimpin. Narasi-narasi kontraproduktif yang dipertontonkan ke publik setiap saat, adalah bumbu potensi konflik yang memancing disharmoni sosial.
Saatnyalah para pemimpin menahan syahwat komunikasinya yang berlebihan. Lebih banyak mendengar, sedikit bicara, dan menahan diri, adalah pilihan-pilihan bijak bagi publik. Saat berkomunikasi, dilakukan pada momentum yang tepat dan dengan narasi yang menyehatkan bangunan sosial warga.
Barangkali, sesekali perlu saling berdiam diri, agar ketika berkomunikasi harmonilah yang terjadi. Bukan sebaliknya, membombardir medan komunikasi dengan narasi-narasi yang tak berarti. Tabik! (Asmono Wikan)
- BERITA TERKAIT
- Kesenjangan Antara Teori dan Praktik
- Pentingnya Sebuah Etika dalam Setiap Kehidupan
- Strategi dan Kreativitas Kampanye Pemilu
- Kekuasaan Tidak Pernah Abadi
- Membawa Pesan Komunikasi yang Jernih Jelang Pemilu 2024