Tiga Kiat Bermedia Sosial

PRINDONESIA.CO | Senin, 24/02/2020 | 1.960
Selain untuk pemasaran, media sosial bisa dimanfaatkan untuk membangun reputasi.
Dok. Istimewa

Beragam sektor bisnis berkembang pesat di Indonesia. Satu per satu mulai memasuki ranah digital untuk dapat bersaing dengan kompetitor. Suka atau tidak, perkembangan teknologi tidak bisa dihindari. Sudah saatnya untuk melihat teknologi sebagai peluang baru dalam proses bisnis.

Oleh: Lars Voedisch, International Communications & Business Growth Advisor

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Aksi protes yang dilontarkan taksi konvensional Blue Bird empat tahun lalu merupakan peristiwa yang sulit dilupakan publik. Tidak sedikit publik yang kecewa. Pengusaha taksi konvensional dinilai tidak bisa menerima persaingan. Bukan simpati yang diperoleh, melainkan kecaman. Menyadari aksi protes tersebut tidak membuahkan hasil, akhirnya brand tersebut memilih untuk menggandeng transportasi on-line kompetitor sebagai mitra. Belajar dari kasus ini, penting bagi pelaku bisnis agar selalu sensitif terhadap perubahan zaman, terlebih lagi jika mampu menjadi early adopter untuk teknologi terbaru.

Perkembangan teknologi yang dinamis salah satunya juga terlihat dari penggunaan media sosial yang terus meningkat. Selain untuk pemasaran, media sosial bisa dimanfaatkan untuk membangun reputasi. Mengutip dari nasihat Warren Buffett, dibutuhkan waktu lebih dari 20 tahun untuk membangun reputasi dan hanya lima menit untuk menghancurkannya. Terkait hal ini, media sosial seperti pisau bermata dua. Menghindari atau tidak mau menggunakan media sosial justru membuat brand kehilangan kendali akan isu yang berkembang. Karena konsumen/warganet akan tetap membicarakan baik positif maupun negatif.

Perusahaan tidak dapat mengendalikan percakapan ataupun aktivitas yang muncul, namun dapat mengarahkannya pada tujuan yang diinginkan. Lalu bagaimana memanfaatkan media sosial untuk membangun dan menjaga reputasi?

 

Manajemen Konten

Apa yang mau dibicarakan, kapan waktunya, kepada siapa, dan bagaimana menyampaikannya penting dalam konteks bermedia sosial. Brand essence diterjemahkan ke dalam bahasa audio visual untuk memperkuat reputasi. Iklan-iklan buatan Thailand adalah contoh bagus. Mereka mampu menciptakan konten menyentuh hati dengan tujuan memperkuat reputasinya. Fokuskan pada keunikan dan kekuatan perusahaan. Pastikan konten relevan dengan visi dan misinya.

Dalam memilih influencer juga harus relevan dengan value perusahaan. Jangan berpatokan hanya dari jumlah follower. Yang perlu diperhatikan adalah pahami siapa audiens mereka, serta apakah value mereka sama atau tidak bertentangan dengan brand value. Analisis juga sepak terjang influencer. Pastikan relevan dengan reputasi yang ingin diciptakan perusahaan. Perlu diingat, jurnalis saat ini menggunakan media sosial sebagai salah satu sumber konten mereka. Pastikan konten sosial hanya membicarakan yang relevan dengan perusahaan.

 

Manajemen Isu

Terhindar dari isu atau gosip negatif merupakan harapan setiap pelaku bisnis. Mimpi buruk terbesar adalah ketika isu tersebut viral sebelum ditangani. Kentucky Fried Chicken (KFC) menjadi contoh menarik. Ketika Devorise Dixon menggugah foto daging ayam yang mirip tikus di laman Facebook, padahal foto itu salah satu paket ayam KFC. KFC kemudian menanggapi dengan cukup elegan dan cepat. Manajemen KFC menawarkan berbicara langsung dengan Dixon, tapi tidak direspon sama sekali. Akhirnya, isu itu menguap.

 

Brand is New Activist

Sekarang brand bukan lagi sekadar berorientasi bisnis, tapi juga pada isu-isu sosial kemasyarakatan. Brand adalah aktivis lingkungan hidup, aktivis kesehatan, aktivis pendidikan, aktivis social, dan lain-lain. Memperkuat posisi brand dengan melakukan kampanye terkait isu-isu nonprofit adalah strategi yang jitu.

Sebagai contoh, Starbucks memberikan kontribusinya melalui kampanye #pinkvoice untuk meningkatkan awareness terhadap kanker payudara. Kampanye yang berlangsung selama satu bulan ini berhasil mengumpulkan dana dari penjualan pink beverages, yang kemudian dialokasikan untuk mendukung kegiatan serupa. Contoh lain adalah Body Shop. Brand yang didirikan oleh Anita Roddick ini sering berkampanye tentang larangan pengujian kosmetik terhadap hewan. Selain itu, brand ini juga aktif mengampanyekan tentang perlindungan lingkungan hidup, hak-hak sipil, dan perdagangan yang adil. Tidak heran Body Shop menjadi salah satu perusahaan yang mengusung etika bisnis terbaik di dunia.