Belajar dari Para Disruptor

PRINDONESIA.CO | Selasa, 10/03/2020 | 1.435
Kehadiran bisnis platform mengubah cara dunia menjalankan bisnis
Dok. Istimewa

Momen digital wave seiring dengan antusiasme luar biasa konsumen Indonesia terhadap bisnis platform. Bisnis-bisnis ini menciptakan nilai tambah dengan mempertemukan para konsumen dengan berbagai macam sumber. Yang menarik, bagaimana nilai-nilai bisnis dan ekuitas dari bisnis platform ini bisa meningkat dengan laju pesat?

Oleh: Ambrish Chaudhry, Strategy Head Asia Pacific Superunion

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Para pengamat bisnis telah memantau pesatnya perkembangan brand platform di Indonesia. Brand raksasa seperti Traveloka, Go-Jek, dan Tokopedia berkembang pesat. Mencapai tingkatan ekuitas setara dengan pencapaian brand konvensional yang butuh waktu puluhan tahun untuk mewujudkannya.

Mayoritas dari bisnis platform sedang menuju ke tahap “unicorn” (bernilai 1 triliun dolar AS atau lebih). Sesungguhnya dengan semakin banyaknya bisnis ini, “my little pony” diyakini dapat lebih menggambarkan para pebisnis yang sedang berupaya untuk menjadi “unicorn”. Para investor berharap jajaran “my little pony” dapat menjadi generasi penerus dari ras “unicorn”. Mungkin saya keliru, meskipun valuasi brand tumbuh secara cepat, para pebisnis ini juga memperkuat brand affinity. Di beberapa kasus bahkan sampai ke tingkat loyalitas. Uniknya, tidak semua pebisnis tersebut bergantung pada iklan (above the line).

Secara jelas, kehadiran mereka telah mengubah cara dunia melihat dan menjalankan bisnis. Begitu pula dengan cara pandang dunia dalam membangun dan membesarkan sebuah brand. Secara mendasar, brand-brand ini berbeda dengan para pendahulunya. Yang membedakan adalah pola pikir penggunaan bisnis platform (pola pikir platform).

Pola pikir platform tersebut dapat diidentifikasikan melalui beberapa aspek utama. Pertama, meninggalkan pendekatan yang cenderung menyombongkan diri dengan berbagai fitur dan atribut brand. Mereka lebih fokus pada apa yang pengguna dapatkan melalui jasa mereka. Kedua, brand platform dibentuk berdasarkan umpan balik dan perbaikan yang berkelanjutan. Contoh, Traveloka meluncurkan fitur baru yang memungkinkan para pengguna menjadwal ulang tiket. Traveloka dianggap telah mendengarkan masukan konsumen.

Ketiga, jika brand Anda dapat membantu meningkatkan kualitas hidup konsumen, mengapa berhenti pada satu produk/jasa saja? Platform brands memosisikan diri sebagai ekosistem yang memudahkan hidup konsumen dengan berbagai cara. Misal, ragam layanan Go-Jek seperti fitur e-money. Rasanya tidak tepat menyebut Go-Jek sebagai aplikasi transportasi on-line saja.

Keempat, kunci keberhasilan pada platform experience adalah kesediaan brand untuk fokus pada kebutuhan komunitas, bukan mendikte kepentingan brand. Mayoritas bisnis platform melengkapi dirinya dengan mekanisme penilaian (rating) untuk menjamin umpan balik pelanggan. Mendikte kepentingan pantang dilakukan, sehingga brand tumbuh dengan mengandalkan komposisi, bukan kontrol.

Kelima, brand platform memosisikan diri sebagai fasilitator. Mereka harus berkolaborasi dengan pihak-pihak yang dapat memberikan nilai tambah bagi para konsumen. Kerja sama antara Uber dan Spotify untuk menciptakan pengalaman berkendara di dalam mobil yang nyaman, misalnya.

Keenam, dan yang terpenting, para brand platform menghindari janji-janji palsu. Para pemain brand platform memiliki keberanian untuk mengakui ketidaksempurnaan. Hal inilah yang menyebabkan para konsumen secara aktif membela di saat hal buruk terjadi. Para pemain brand platform berani mengambil risiko dan berhasil menempatkan diri sebagai sesuatu yang nyata dan manusiawi.

Setelah membaca ini, mungkin Anda telah sampai pada kesimpulan yang juga telah saya pikirkan. Untuk menjadi sebuah brand platform, Anda tidak perlu membatasi brand untuk bergerak di bidang digital saja. Selama brand Anda dapat menjalankan prinsip-prinsip di atas, Anda telah berada di jalur yang tepat untuk mulai membangun loyalitas brand Anda. Saya tidak sabar menulis tentang brand platform Anda tahun depan.