Pentingnya Konferensi Pers Daring di Tengah Pandemi

PRINDONESIA.CO | Kamis, 30/04/2020 | 1.316
Untuk meminimalisir gangguan teknis dan kendala selama kegiatan secara daring berlangsung, perlu ada SOP.
Dok. Istimewa

Di tengah pandemi Covid-19, konferensi pers daring rupanya menjadi preferensi utama para pewarta dalam mencari informasi selain siaran pers. 

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Fakta inilah yang muncul dalam studi riset bertajuk “Apa yang Media Butuhkan selama WFH” yang dirilis oleh Imogen Communication Institute (ICI). Riset yang melibatkan 115 jurnalis media massa di 10 kota Indonesia seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, Palembang, Medan, Pekanbaru, Makassar, Banjarmasin, dan Samarinda ini dilakukan menggunakan metode kuantitatif maupun kualitatif.

Menurut Direktur Imogen Communication Institute Widi Wahyu Widodo, wartawan sangat membutuhkan informasi langsung dari narasumber saat melakukan konferensi pers secara daring. Apalagi jika narasumber yang bersangkutan cukup sulit untuk dihubungi secara pribadi. "Konferensi pers secara daring bisa menjadi sarana bagi wartawan untuk bertanya langsung selama sesi tanya jawab,” katanya melalui siaran pers yang diterima PR INDONESIA di Jakarta, Rabu (29/4/2020).

Hal ini juga sejalan dengan instruksi pemerintah yang memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam rangka memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19. Dari total responden tercatat 61,4 persen memilih konferensi pers secara daring saat work from home (WFH). Alasannya karena cara ini masih memungkinkan mereka untuk bertanya langsung kepada narasumber melalui kolom komentar atau live chat. 

Sementara itu, sebanyak 28,7 persen lebih memilih metode menerima siaran pers. Sisanya, 9,9 persen memilih siaran pers berupa video streaming.

Medium yang digunakan pun beragam. Mulai dari YouTube streaming, Live Instagram, Zoom Meeting, hingga Google Meet. Meski begitu, sebagian besar lebih memilih YouTube dan Zoom yang memiliki fitur live chat. "Keunggulan lain dari konferensi pers daring adalah peserta bisa menonton kembali tayangannya karena adanya fitur recording," imbuh Widi.

Meski begitu, cara ini juga tak lepas dari kendala. Yang terbesar adalah sinyal internet yang tidak stabil, disusul memakan kuota internet yang cukup besar. Kondisi itu membuat sebanyak 28,7 persen wartawan masih menyukai  menerima informasi dalam bentuk siaran pers. 

“Selama pandemi ini wartawan memang harus menyediakan anggaran lebih besar untuk kuota internet. Bayangkan jika dalam sehari ada lima konferensi pers yang dilakukan secara daring,” ujarnya.

Idealnya, kata Widi, saat konferensi pers secara daring berlangsung, siaran pers dapat dibagikan melalui pesan WhatsApp atau e-mail segera setelah jurnalis masuk ke room meeting. Tujuannya, agar mereka dapat mengeksplorasi pertanyaan dan angle  berita sesuai kebutuhan. 

"Siaran pers juga membantu jurnalis jika koneksi tidak stabil, suara narasumber tidak jelas, ketinggalan materi, dan kendala teknis lainnya," imbuhnya.

Masih Bertentangan
Ketua Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI) Jojo S. Nugroho menyoroti beberapa instansi pemerintah yang masih menyelenggarakan konferensi pers secara off-line di tengah pandemi. Selain menjadikan pewarta sebagai golongan yang rentan tertular Covid-19, hal ini juga bertentangan dengan kebijakan pemerintah yang selama ini gencar mengampanyekan #dirumahaja dan jaga jarak fisik (physical distancing). 

Oleh karenanya, ia pun mengimbau seluruh agensi public relations untuk tidak menyelenggarakan konferensi pers off-line. Sebaliknya, memanfaatkan teknologi daring ketika menyelenggarakan kegiatan selama pandemi. 

Untuk meminimalisasi gangguan teknis dan kendala selama kegiatan secara daring berlangsung, perlu ada standard operating procedure (SOP). Inilah yang kemudian menjadi pedoman saat kegiatan, salah satunya konferensi pers daring, berlangsung. "Sehingga, narasumber tetap bisa menyampaikan pesan dengan jelas kepada media,” tutup Managing Director IMOGEN PR itu. (ais)