Berkomunikasi Itu Bukan Kompetisi

PRINDONESIA.CO | Kamis, 16/07/2020 | 2.176
Komunikasi itu bukanlah pertandingan yang harus dimenangkan salah satu partisipan.
Dok. Istimewa

Berkomunikasi itu membutuhkan sikap rendah hati untuk saling memahami. Karena output komunikasi adalah kesepahaman, bukan kemenangan.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Ada begitu banyak kasus orang yang tengah berkomunikasi, namun di antara mereka tidak bisa saling memahami apa yang tengah jadi topik komunikasi. Apakah itu karena di antara mereka saling tidak memberi perhatian? Tidak saling mendengarkan? Bukan. Itu semua mungkin betul, tapi bukan di situ persoalannya. Melainkan pada sikap dari masing-masing pribadi yang tengah berkomunikasi tidak rendah hati.

Bagaimana komunikasi bisa menciptakan mutual understanding jika di antara partisipannya sangat egois? Saling bicara ngegas. Saling mempertontonkan kelebihan dan prestasinya sendiri, tanpa mau berendah hati mendengarkan esensi dan pencapaian orang lain yang sedang diajak berkomunikasi.

Berkomunikasi pada dasarnya sederhana, tidak kompleks. Namun, dalam praktiknya, berkomunikasi ternyata sering kali tidak semudah yang dibayangkan. Acap kali, ada saja gangguan, ada kepentingan, bahkan keinginan tersembunyi yang kadang menyertai proses komunikasi. Di situlah letak kompleksitas berkomunikasi.

Pada hakikatnya, berkomunikasi semestinya diletakkan dalam kesamaan posisi. Tidak ada yang menjadi ordinat maupun subordinat. Jika salah satu ada dalam struktur saling menguasai, yang terjadi adalah perintah. Komando searah. Bukanlah komunikasi.

Itulah sebabnya, berkomunikasi sering kali memerlukan pemahaman lebih diantara para partisipan. Sebutlah misalnya latar belakang masing-masing. Baik latar belakang pendidikan, asal-usul, profesi, dan lain sebagainya. Banyak contoh menunjukkan, ketidakpahaman, atau sebuah candaan tidak sengaja dalam berkomunikasi yang “melupakan” latar belakang partisipan, lalu berbuah unsur pidana. Terlalu sering cerita semacam ini ada di sekitar kita. Tapi, tetap saja berulang kesalahan-kesalahan seperti itu.

 

Pengendalian Diri

Berkomunikasi memang butuh pengendalian diri. Emosi, hasrat, kepentingan, dan lain sebagainya. Bagaikan orang sedang berpuasa. Begitulah berkomunikasi. Sekali nafsu berlebih (ingin mendominasi, menguasai pembicaraan, atau “mengolok-olok” partner) hanya akan berakibat fatal tindakan komunikasi yang tengah berlangsung.

Terus mengingat tujuan berkomunikasi, bisa menjadi alert penting, agar proses pengendalian diri berlangsung optimal. Terlebih di zaman sedang susah, era pandemi seperti sekarang, sungguh berarti menahan diri dalam berkomunikasi. Menahan diri adalah cerminan dari sikap rendah hati.

Pada akhirnya, itu semua karena berkomunikasi itu bukanlah kompetisi. Bukan pertandingan yang harus dimenangkan salah satu partisipan. Tidak ada hitungan skor dalam berkomunikasi. Berkomunikasi adalah membangun kesepahaman bersama. Di antara partisipan memahami esensi yang saling dikomunikasikan, selanjutnya mengikuti output dari komunikasi tersebut.

Karenanya, bukan kemenangan sebagai hasil akhir dari komunikasi. Melainkan, kesepahaman.  (Asmono Wikan)