Salah satu pelajaran terpenting bagi seorang komunikator, bahkan juga pemimpin, adalah kemampuan mendengar. Mendengar (listening), sungguh tidak mudah. Ketika belajar Bahasa Inggris di bangku sekolah, bagi saya pribadi, pelajaran mendengar jauh lebih sulit ketimbang praktik berbicara atau menulis sekalipun.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Mendengar seseorang berbicara, bukan saja membutuhkan “kesempurnaan” indera pendengaran, telinga. Melainkan juga membutuhkan kelapangan dada. Kelonggaran hati untuk sejenah menyimak apa yang menjadi aspirasi orang yang tengah berbicara di hadapan kita. Di zaman serba digital ini, orang yang berbicara tidak harus bertatap muka, namun suaranya semestinya sudah sampai ke telinga kita.
Mendengar jelas butuh latihan yang tidak sederhana. Ada proses yang panjang mesti ditempuh, agar seseorang memiliki kemampuan mendengar yang baik. Salah satu cara ampuh belajar menjadi pendengar yang baik adalah kehendak untuk memahami pandangan orang lain dari berbagai perspektif. Banyak berdialog. Membuka ruang komunikasi seluas-luasnya bagi siapapun yang ingin bersuara, adalah upaya memastikan kemampuan mendengar bisa dilakukan dengan optimal.
Keberhasilan seseorang dalam mendengar banyak suara, juga butuh rasionalitas. Komunikator dan pemimpin yang mau mendengar, tentulah memerhatikan begitu banyak suara yang muncul ke permukaan tentang sebuah hal, peristiwa, atau agenda. Suara-suara itu harus dipastikan datang dari sumber yang beragam. Bukan hanya dari satu sisi, apalagi yang sekadar menguntungkan kelompok sendiri.
Itulah proses mendengar yang semestinya. Memberi kesempatan seluas-luasnya banyak pihak untuk bersuara. Sekaligus mengurainya dengan menggunakan kelapangan hati, mengedepankan empati, tanpa harus larut dalam emosi berlebihan.
Adalah fatal akibatnya manakala komunikator dan pemimpin telah kehilangan kemampuan mendengar. Karena bakal berakibat pada kesalahan dalam mengambil keputusan. Kebijakan tidak dibuat dengan penuh perhitungan matang, sekaligus memenuhi rasa keadilan banyak pihak. Kebijakan yang salah, akan memancing resistensi. Bakal mengundang antipati, hingga luruhnya kepercayaan (trust) publik dalam waktu yang panjang. Pada akhirnya, akan menghilangkan legitimasi sang pemimpin.
“Barang Mewah”
Semestinya, tidak sulit bagi para pemimpin untuk menyediakan waktu mendengar. Berbeda ceritanya jika mendengar kini sudah menjadi “barang mewah”. Mengalahkan kemewahan benda-benda fisik dan istana tinggal sang pemimpin. Mungkin saja demikian yang terjadi hari-hari ini.
Jikalau benar adanya, rasanya pemimpin itu akan semakin sulit menggapai kembali kepercayaan yang pernah ia raih sedemikian besar. Kehilangan kemampuan mendengar, sama juga dengan raibnya separuh dari kemampuan mengelola kepemimpinan seseorang. Pemimpin tanpa kemampuan mendengar, adalah pemimpin yang buta. Tak mampu menerjemahkan kehendak orang-orang yang ia pimpin.
Padahal di zaman yang penuh transparansi seperti sekarang, model kepemimpinan yang efektif dan berdaya, adalah yang mau mendengarkan setiap suara lirih sekalipun dari segenap penjuru cakrawala kepemimpinannya. Dengarlah setiap suara-suara itu, sebelum engkau sulit berkata-kata karena kehilangan kemampuan berbicara. (Asmono Wikan)
- BERITA TERKAIT
- Kesenjangan Antara Teori dan Praktik
- Pentingnya Sebuah Etika dalam Setiap Kehidupan
- Strategi dan Kreativitas Kampanye Pemilu
- Kekuasaan Tidak Pernah Abadi
- Membawa Pesan Komunikasi yang Jernih Jelang Pemilu 2024