Trik Membangun Hubungan Mesra dengan Wartawan 

PRINDONESIA.CO | Senin, 08/03/2021 | 2.195
Prinsip dasar berteman dengan media harus dilandasi hubungan yang setara, saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme.
Dok.Istimewa

Aktivitas menjaga hubungan baik atau media handling yang dilakukan oleh praktisi PR bukan semata-mata untuk mendapatkan pemberitaan positif dan PR value. Lebih dari itu, berpengaruh positif terhadap return of investment.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Jojo S. Nugroho, Managing Director IMOGEN PR, merangkum empat trik menguasai praktik media handling. Pertama, public relations (PR) harus mengenali media. Mulai dari memahami maknanya, lanskap media di Indonesia, hingga top tier media. Adapun pemetaannya berdasarkan grup media dan kategori (seperti hiburan, otomotif, bisnis, ekonomi, politik, kesehatan dan sebagainya), asosiasi/organisasi media, hingga konglomerasi media.

Jojo saat mengisi Workshop bertema “Teknik Jitu Menangani Media”, Rabu (3/2/2021), menekankan, dalam menjaga relasi dengan teman-teman media sebaiknya jangan hanya dilakukan kalau sedang membutuhkan. 

Trik kedua, mengenali tipe media. Tipe media daring, misalnya, tenggat waktu tayang (deadline) yang cepat, jangkauan luas, aktualitas tinggi. Tetapi, akurasinya tergolong rendah karena mementingkan kecepatan, serta bersifat lebih interaktif.

Sementara tipe pemberitaan di media cetak jauh lebih mendalam. Selain itu, tenggat waktu tayang tengah malam, mudah untuk dikonsumsi, memiliki karakter yang kuat secara idealisme, akurasi tinggi, tetapi lebih cepat basi.

Demikian halnya dengan tabloid. Meskipun bersifat mingguan bahkan bulanan, pemberitaan di tabloid tergolong lebih mendalam daripada media cetak harian, dengan tingkat akurasi yang tinggi, memerhatikan detail, mampu menampilkan berita-berita yang bersifat timeless/features.

Berbeda dengan televisi yang mengedepankan audio visual. Informasinya juga bersifat cepat, singkat, jelas, padat, dan pemberitaannya terikat oleh waktu tayang program. Kekuatannya terletak pada gesture/gerak tubuh narasumber yang tergambar lewat visual. Namun demikian, menyiapkan proses wawancara di TV terasa jauh lebih sulit karena ketika dihadapkan pada kamera ada kesan “intimidasi”. Sementara radio, kerap terlupakan, padahal memiliki jangkauan yang luas hingga ke daerah.

Catatan penting lainnya, lanjut Jojo, PR harus mengetahui kapan waktu deadline dari masing-masing media. “Jangan bertanya kapan berita kita akan ditayangkan. Sebab, tidak ada kewajiban bagi jurnalis untuk menaikkan berita kecuali kalau beritanya iklan atau advertorial,” ujarnya seraya berpesan agar selalu menyertakan foto saat mengirimkan siaran pers.

Simbiosis Mutalisme

Trik ketiga, mengetahui apa yang disukai oleh media. Menurut pria yang juga merupakan Ketua Umum APPRI ini, media menyukai adanya kerjasama/kolaborasi, keterbukaan, hingga kecepatan dalam merespons. Sedangkan informasi yang disukai dan dicari oleh media yang bersifat baru seperti peluncuran produk, unik, pertama dan satu-satunya, serta konten lokal.

Di sini, Jojo mengimbau agar PR terbuka di hadapan media. Hal ini diakarenakan media memiliki pengaruh besar. Mereka dapat membuat agenda setting, membentuk persepsi publik, memengaruhi keputusan, serta memiliki kendali atas tulisan mereka.

Adapun beberapa hal yang tidak disukai oleh media seperti berkata no comment/tidak mau memberikan jawaban/komentar, mengelak pertanyaan yang diberikan, terlambat saat berjanji, bersikap agresif, dan lainnya yang mengandung unsur negatif, misalnya, memarahi wartawan.

Keempat, membangun hubungan mesra dengan media. Prinsip dasar berteman dengan media harus dilandasi hubungan yang setara, saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme. Jangan memandang media lebih tinggi ataupun sebaliknya. Kuncinya, jangan bawa perasaan (baper) karena setiap media memiliki karakter dan tipe berbeda-beda. Pun dengan jurnalisnya, memiliki level yang berbeda-beda. (ais)