Hati

PRINDONESIA.CO | Selasa, 13/07/2021 | 1.691
Pemimpin yang tidak menempatkan hati dalam setiap tindakan, menjadikannya berada di luar episentrum eksistensialisme sebagai manusia.
Dok.Istimewa

Banyak orang suka, jika bicara soal hati. Sehingga suka ada yang bersaran, “Coba, bicaralah dengan hati agar masalah lekas usai.” Namun, tidak semua orang mau berurusan dengan hati, karena takut jadi sakit hati alias kecewa, jika promise tak ter-deliver dengan baik. Alias hanya di PHP-in. Padahal, semua hal yang berasal dari hati, sejatinya banyak yang berujung pada kebaikan.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Dari mana hati bisa ditafsir dengan baik atau kebaikan? Apabila ada banyak potensi luka yang tergores akibat perilaku yang tidak berhati-hati dari orang lain.

Jawabannya, dari ukuran nurani dan hati setiap kita. Kedalaman hati tiap manusia memang sulit diduga. Tapi kualitas kebijakan, komunikasi, dan tindakan yang mempergunakan hati dan secara hati-hati, sungguh terasa kedalamannya.

Hati adalah episentrum jiwa dan kedirian manusia. Hati adalah pusat dari dinamika psikologis manusia. Marah, senang, gembira, sedih, terluka, bahagia, baik, dan buruk, bisa dirasakan oleh hati. Tanyalah pada hati Anda, maka hati itu akan memberi jawaban jujur. Hati, akan memberikan jawaban yang benar. Bukan sebaliknya, jawaban yang keliru. Hati tidak menuntun manusia bertindak keliru, sebaliknya meluruskannya agar tidak sesat.

Pemimpin yang tidak menempatkan hati dalam setiap tindakan, menjadikannya berada di luar episentrum eksistensialisme sebagai manusia. Menisbikan nilai-nilai humanitarian. Mengembangkan sikap-sikap angkara. Membangun permusuhan, menjauhkan harmoni dan keadaban sosial.

Angkara dan kemurkaan, adalah musuh hati. Menyempitkan kelapangan hati yang semestinya dimiliki. Memulihkannya, mesti mengggunakan hati pula dan diperlakukan secara hati-hati. Lagi-lagi, bicara dari hati ke hati.

 

Mengeras
Terbuat tanpa proteksi tulang di sekelilingnya, hati begitu lembut. Namun, hati bisa "mengeras" tatkala muncul stimulus yang menghampirinya. Kerasnya hati seseorang, bahkan pemimpin, kerap digambarkan bagaikan batu karang yang kokoh. Tak lekang dihantam debur ombak tiap hari, selama sekian masa.

Pemimpin yang hatinya mengeras karena stimulan negatif, akan sangat berbahaya. Kebijakannya bisa bias. Menguntungkan segelintir penikmat laba sesaat, alias pemburu rente dalam diksi ekonomi.

Sebaliknya, kerasnya hati pemimpin akibat stimulan positif, menghadirkan keteguhan untuk tak mudah goyah diterpa godaan sekelilingnya. Ia akan amanah menjalankan kewajiban dan kepercayaan publik yang bersemat di pundaknya.

Pada akhirnya, soal pilihan. Mana peluang yang ingin kita hadirkan kepada sang pemimpin? Mengeras hatinya untuk menjadi pemimpin diktator? Atau sebagai pemimpin demokratis yang "lembah manah", mengedepankan dialog lembut dengan penuh rasa dan kehati-hatian?

Saya, tentu memilih nomor dua. Setidaknya, bukan sekadar karena malas melihat blunder kebijakan pemimpin yang sering berulang.  Melainkan tak ingin diracuni oleh sikap dan pandangan pemimpin yang tak membawa hati dalam kebijakan dan caranya berkomunikasi.


Salam satu hati. Tabik! (Asmono Wikan)