Komunikasi sebagai Instrumen Kebijakan

PRINDONESIA.CO | Kamis, 09/12/2021 | 1.584
Pentingnya kesadaran untuk menempatkan komunikasi sebagai instrumen kebijakan
Dok. Freandy PR INDONESIA

Bank Indonesia menyadari bahwa komunikasi tertutup sudah tidak dapat lagi dipertahankan. Kondisi politik dan digitalisasi juga turut menciptakan kesadaran pentingnya komunikasi sebagai instrumen kebijakan.

BALI, PRINDONESIA.CO - Hal ini diungkapkan oleh Kepala Departemen Komunikasi Bank Indonesia (BI) Erwin Haryono pada pembukaan the 7th Jambore PR INDONESIA (JAMPIRO) di Bali, Rabu (8/12/2021). Erwin mengatakan, bisnis bank sentral tidak banyak dipahami publik karena bahasa yang digunakan terlalu teknis dan sulit dimengerti.

Konteks ini menuntut bank sentral tak bisa lagi hanya mengandalkan instrumen-instrumen keuangan. Instrumen-instrumen lama yang biasa digunakan kini menjadi kurang efektif. “Dalam satu dasawarsa terakhir, muncul kesadaran untuk menempatkan komunikasi sebagai instrumen kebijakan,” ujarnya.

Erwin menyadari suka atau tidak, bank sentral harus transparan. Hal ini karena adanya tuntutan bank sentral untuk lebih terbuka. Beberapa bank sentral di dunia seperti People’s Bank of China dan Bank of Japan juga belajar dari Bank Indonesia untuk bersikap lebih terbuka. Salah satu caranya adalah mengelola media sosial.

Konteks selanjutnya adalah sosial politik di dalam komunikasi kebijakan di Indonesia. BI yang baru saja membuat seminar bersama ahli, mendapat temuan bahwa demokrasi di Indonesia membawa dampak berbeda. “Jika komunikasi publik dari lembaga negara dulunya disampaikan secara tidak langsung, sekarang harus secara langsung dan mudah dipahami,” imbuhnya.

Konteks ketiga, digitalisasi. Tak dapat dimungkiri bahwa era media sosial memicu kebingungan publik. Informasi yang banyak tersedia malah menimbulkan disinformasi, hoaks, hingga post-truth. “Kebenaran dipersepsikan sangat subyektif sehingga upaya komunikasi juga menjadi lebih sulit,” kata Erwin.

Ketiga konteks ini menjadi titik awal bahwa kebijakan yang tadinya tertutup tak bisa lagi dipertahankan. “Kondisi politik juga menuntut perubahan cara komunikasi,” ujarnya. Tak hanya itu, digitalisasi juga menuntut bank sentral untuk memelihara kanal-kanal komunikasi yang lebih banyak.

Hingga akhirnya muncul terminologi komunikasi kebijakan. “Ada kebutuhan khusus di seluruh bank sentral untuk mengomunikasikan kebijakannya sehingga bisa memengaruhi persepsi publik,” imbuh Erwin. Pada akhirnya, komunikasi akan memengaruhi kredibilitas dan efektivitas kebijakan yang sempat berkurang karena inovasi keuangan.

Bukan Sekadar Pelengkap

Bagi Erwin, transformasi komunikasi adalah sebuah pilihan. “Kami membuat kerangka baru dan pendekatan omnichannel,” ujarnya. BI juga bereksperimen dengan media sosial. Sebagai ilustrasi, jumlah rilis yang dikeluarkan Bank Indonesia dalam setahun berjumlah 360 hingga 370. Jumlah ini bahkan lebih banyak dari jumlah hari dalam setahun. Rilis ini kemudian dibuat menjadi potongan-potongan kecil dan diunggah di media sosial Twitter, Instagram, dan Facebook. Sehingga, informasi menjadi lebih mudah dipahami masyarakat.

BI juga aktif di media contact center BICARA. Inquiries yang masuk ke BICARA mencapai 75.000 setahun. Sembilan puluh empat persennya dapat diselesaikan BI dalam waktu satu hari saja. “Jadi, selain berbicara, kami juga aktif mendengarkan suara publik,” katanya.

Bagi Erwin, komunikasi bukan hanya pelengkap, namun juga instrumen kebutuhan yang setara dengan instrumen lain. “Ini juga merupakan tuntutan manajemen, dalam hal ini gubernur kepada departemen komunikasi,” ujarnya.

Baginya, menempatkan komunikasi sebagai instrumen bukan tentang bagaimana menjelaskan pentingnya hal ini pada pimpinan. “Yang terpenting adalah kesadaran yang muncul di semua bank sentral,” tutupnya. (rvh)