Ketika Digitalisasi Mendisrupsi Etika Jurnalistik

PRINDONESIA.CO | Rabu, 02/03/2022 | 1.149
Perkembangan teknologi serta perubahan pola pembaca akan mempengaruhi bisnis media. Tak terkecuali kinerja serta etika para jurnalisnya.
Dok.Istimewa

Bagi pelaku industri media, perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di era digital ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi, bisa menjadi peluang bagi mereka yang mampu beradaptasi dan terus mengembangkan inovasi. Di sisi lain, era disrupsi dapat mengancam media-media yang gagal bertransformasi.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Isu inilah yang mengemuka dalam diskusi dan peluncuran buku berjudul “Idealisme Jurnalis dan Inovasi Model Bisnis Industri Media”, oleh LP3M Institut Komunikasi dan Bisnis LSPR bekerja sama dengan Fakultas Komunikasi, Universitas Padjadjaran Bandung, Senin (28/2/2022).

Pola konsumsi masyarakat dalam mengakses informasi telah berubah seiring perkembangan teknologi digital. Ditambah, krisis pandemi COVID-19 yang memaksa segala aktivitas manusia dilakukan secara daring. Kondisi ini memaksa para praktisi media untuk terus mengembangkan model bisnisnya. Di samping tetap mempertahankan nilai-nilai idealisme jurnalisnya.

Hal ini dibenarkan oleh Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Univesitas Padjajaran Dadang Rahmat Hidyat. Menurut Dadang, berbagai temuan dan perkembangan teknologi komunikasi dan informasi di era digital telah mengubah praktik media. “Di satu sisi menjadi potensi dan peluang untuk mengembangkan media. Namun di sisi lain bisa menjadi ancaman bagi media-media yang tidak dapat melakukan adaptasi dan inovasi sebagai langkah proaktifnya,” ujarnya.

Senada dengan yang disampaikan oleh Heru Margianto, Redaktur Pelaksana Kompas.com. Menurut Heru, perkembangan teknologi serta perubahan pola pembaca akan mempengaruhi bisnis media. Tak terkecuali kinerja serta etika para jurnalisnya. Masih dalam forum yang sama, menurut Dosen Prodi Magister Komunikasi Universitas Diponegoro Semarang Sunarto, Fenomena media baru dan media campuran ini juga diyakini mampu menciptakan etika media yang bersifat lebih terbuka atau memberi perhatian pada seluruh elemen masyarakat.

Menariknya, menurut Dosen Fikom Unpad Eni Maryani, tekanan yang datang dari internal perusahaan media dapat dianggap sebagai bentuk kekerasan terhadap jurnalis. Terlebih bagi para pemilik media yang menjadikan perusahaannya sebagai alat kepentingan politik dan ekonomi. (ais)