Public speaking merupakan salah satu modal utama bagi praktisi komunikasi dalam menyampaikan gagasannya. Bagaimana pakar komunikasi mengimplementasikan kemampuannya berbicara di hadapan publik agar relevan dengan perkembangan zaman?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Dalam buku Public Speaking Mastery karya Ongky Hojanto (2013), sejarah public speaking sudah ada sekitar 2.500 tahun lalu di Yunani kuno. Istilah itu dulunya dikenal dengan nama retorika. Dalam teori yang diusung filsuf Aristoteles, retorika memiliki keunggulan dibandingkan tulisan. Hal ini dikarenakan retorika memiliki kemampuan menyampaikan tiga unsur sekaligus kepada audiens. Demikian pernyataan pendiri PR Society Magdalena Wenas saat mengawali percakapan dengan PR INDONESIA, Jumat (9/9/2022).
Tiga unsur yang dimaksud adalah logos, ethos, pathos. Unsur inilah yang kemudian menjadi pilar utama dalam melakukan public speaking. Yang pertama, logos atau logika. Artinya, fakta yang dapat dibuktikan melalui bukti dan argumen yang logis. Kedua, ethos atau etika. Maknanya, kredibilitas atau karakter komunikator yang dapat meyakinkan audiens. Ketiga, pathos atau perasaan. Yakni, komunikator harus memiliki kemampuan untuk menyampaikan emosi kepada pendengar.
Dengan demikian public speaking sudah lebih dulu ada jauh sebelum public relations (PR). Ternyata, dalam perjalanannya ada banyak proses hingga akhirnya PR mampu mengimplementasikan public speaking dengan berpedoman pada tiga pilar di atas. Magda lantas membawa kita ke tahun 1984. Tepatnya, saat James E. Grunig dan Todd Hunt (1984) mengemukakan empat perkembangan model PR.
Model PR pertama diawali dengan agen pers (press agentry), yang artinya informasi bergerak satu arah dari pengirim ke penerima. Kedua, berkembang model informasi publik (public information model). Yakni, pengirim pesan mengirimkan informasi yang relevan di antara khalayak sasaran/publik.
Ketiga, model asimetris dua arah (two-way asymmetrical model). Artinya, pengirim pesan sudah mulai berkomunikasi dua arah. Namun, tidak terlalu mempertimbangkan reaksi penerima pesan. Keempat, model simetris dua arah (two-way symmetrical model). Model ini merupakan bentuk komunikasi dua arah yang memerhatikan reaksi dan umpan balik penerima. Model PR terakhir inilah yang kemudian dinilai paling ideal di dunia komunikasi.
Dua Arah
Berdasarkan teori di atas dapat disimpulkan bahwa agar sukses melakukan public speaking, praktisi komunikasi harus memiliki kemampuan komunikasi dua arah tanpa meninggalkan unsur logos, ethos, dan pathos. Dalam implementasinya, saat berbicara di depan publik, komunikator dapat membangun interaksi dan mengikutsertakan audiens ke dalam acara. Untuk membangun interaksi, PR dapat mencari korelasi dengan audiens, menggali wawasan atau gambaran untuk memahami kondisi dan karakter audiens, dan menyamakan bahasa untuk mendekatkan ikatan.
Selain materi yang logis, strategi dalam mengomunikasikan materi juga menjadi bagian yang tak kalah penting. Cara berpakaian dan gestur juga dapat menjadi bagian dari unsur ethos. Sedangkan cara berbicara storytelling dengan menyisipkan unsur emosi dapat menyiratkan unsur pathos.
Terakhir, komunikator juga perlu memahami bahwa tujuan komunikasi tidak hanya tentang menyampaikan ide dan gagasan. Lebih dari itu, untuk menciptakan pemahaman yang sama atau mutual understanding antara komunikator dengan komunikan. Karena hal tersebut, LSP Mankom berencana untuk melakukan penguatan untuk para praktisi komunikasi dengan membuka kelas public speaking. (rvh)
- BERITA TERKAIT
- Masih Ada Peluang, Pendaftaran Kompetisi Karya Sumbu Filosofi 2024 Diperpanjang!
- Perhumas Dorong Pemimpin Dunia Jadikan Komunikasi Mesin Perubahan Positif
- Berbagi Kiat Membangun Citra Lewat Kisah di Kelas Humas Muda Vol. 2
- Membuka WPRF 2024, Ketum Perhumas Soroti Soal Komunikasi yang Bertanggung Jawab
- Dorong Kecakapan Komunikasi, Kementerian Ekraf Apresiasi Kelas Humas Muda Vol. 2