IPRS 2022: Resesi Global Perlu Dukungan PR

PRINDONESIA.CO | Rabu, 23/11/2022 | 1.439
President of The Arthur W. Page Society USA Roger Bolton.
Dok. YouTube

Peringatan agar waspada terhadap kemungkinan adanya resesi global semakin kencang sejak akhir September 2022. Isu ini pula yang mengemuka pada pembukaan International Public Relations Summit (IPRS) di Bali, Rabu (23/11/2022). Di mana peran PR? 

BALI, PRINDONESIA.CO – International Monetary Fund (IMF) mencatat aktivitas ekonomi global mengalami perlambatan. Kondisi ini ditunjukkan dengan inflasi yang lebih tinggi dalam beberapa tahun terakhir. Dari 6,0% (2021) menjadi 3,2% (2022), dan diperkirakan  2,7% pada tahun 2023. Ada berbagai faktor yang menyebabkan terjadinya perlambatan ini. Mulai dari krisis biaya hidup, pengetatan kondisi keuangan di sebagian wilayah, invasi Rusia ke Ukraina, hingga pandemi COVID-19.

Itulah isu yang menjadi pembuka dalam konferensi International Public Relations Summit (IPRS) 2022 bertajuk “Shaping an Impactful Value Creation in The World of Digital Economy” di Bali, Rabu (23/11/2022). Founding Director EGA briefings Elizabeth Goenawan Ananto mengatakan, isu ekonomi ini mengubah bisnis menjadi tidak berjalan seperti biasa. Ada banyak tantangan di masa depan yang tidak dapat diprediksi. Dalam kesempatan itu pula, Ega, begitu sapaan karib Elizabeth, menyampaikan bahwa IPRS di Bali tahun ini menjadi rangkaian pamungkas dari kampanye edukasi publik yang telah diselenggarakan selama satu dekade untuk tujuan meningkatkan peran dan posisi PR.   

Menurut President of The Arthur W. Page Society USA Roger Bolton, di masa sulit seperti ini, Chief Communication Officer (CCO) dapat menjadi pembuka jalan untuk mewujudkan transformasi kehumasan. Dalam laporannya yang berjudul The CCO as Pacesetter: What It Means, Why It Matters, How to Get There, saat ini CCO harus menjalankan fungsi lebih ekspansif dan strategis.

Beberapa fungsi tersebut didasarkan oleh ekspektasi publik. Di antaranya, memenuhi permintaan stakeholder, cara bekerja yang baru, kesehatan mental, percepatan transformasi digital, badai ekonomi, isu rantai suplai, dan lainnya.

Untuk itu, fungsi komunikasi strategis harus direkayasa ulang untuk menjawab peran yang terus berevolusi. Tim komunikasi juga harus didesain ulang agar lebih gesit dan terintegrasi dengan bisnis. Di samping menekankan pentingnya untuk membangun nilai bagi seluruh stakeholder.

Menurut Bolton, ada tiga hal yang dapat dilakukan perusahaan untuk membangun nilai bagi stakeholder. Pertama, produk dan layanan. Kedua, environmental, social, governance (ESG). Ketiga, corporate social responsibility (CSR). Semua itu membutuhkan komitmen dan proses dari perusahaan. “Yang penting, melakukan aksi dulu, baru mengatakannya. Sebab, PR itu terdiri dari 90 persen melakukan (doing), dan 10 persen menceritakan (talking),” katanya seraya berpesan.

Pemimpin Transformasional

Menariknya, hasil penelitian The Arthur W. Page Society ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Eny Ratnasari dan Alex Johanes Simamora berjudul Hubungan Organisasi-Publik, Faktor Situasional, dan Partisipasi CSR di Indonesia. Bahwa kesuksesan kampanye CSR dapat menciptakan nilai sosial dan mengundang partisipasi publik.

Penelitian ini disampaikan oleh Eny sehari sebelum acara IPRS, tepatnya pada Selasa (22/11/2022) di forum yang juga diselenggarakan oleh EGA briefings, yakni Indonesia PR Research Forum (IPRF) 2022 yang berlangsung secara daring.  

Masih di forum yang sama, Astari Dyah Sutjiningtyas menambahkan, kepemimpinan transformasional berpengaruh terhadap kebiasaan komunikasi karyawan. Hal ini dibuktikan dengan penelitiannya yang berjudul Pengaruh Transformational Leadership terhadap Employees’ Communication Behavior Melalui Communal dan Exchange Norm Relations pada Perusahaan Multinasional.

Kepemimpinan transformasional berpengaruh positif terhadap employees’ exchange norm. Jadi, apabila dikaitkan dengan kondisi saat ini dan prediksi akan ada banyaknya tantangan ke depan, maka perusahaan dapat bertahan apabila dipimpin oleh pemimpin yang transformasional. Sebab, berdasarkan penelitian yang dilakukan Astari, ketika seorang karyawan dipimpin oleh atasan yang transformatif, maka yang bersangkutan akan memberikan manfaat dan perilaku yang baik kepada lingkungannya. Di sisi lain, kepemimpinan transformasional juga berpengaruh positif terhadap kebiasaan karyawan dalam menyampaikan pendapat atau aspirasinya. Dengan demikian, perusahaan memiliki banyak ide, jalan keluar, bahkan karya, meski di masa sulit sekalipun.  (rvh)