Menjelang akhir tahun 2022 ini, kita dihantui oleh sejumlah pemberitaan dan pernyataan tentang resesi yang akan melanda di tahun depan. Tiap hari ada saja artikel atau berita yang mengkhawatirkan tentang resesi yang sudah berada di ambang pintu. Pada saat kita sudah mulai bernapas agak lega sesudah pandemi yang berkecamuk sejak awal tahun 2020 yang mengubah pola hidup dan pola kerja, muncul ancaman baru dalam bentuk resesi.
Oleh: Noke Kiroyan, Chairman & Chief Consultant KIROYAN Partners
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Mendengar perkataan “resesi”, bayangan yang muncul di dalam benak kita adalah keadaan ekonomi yang parah, pengangguran yang merajalela dan harga barang-barang kebutuhan pokok yang merayap naik. Para eksekutif yang menjalankan bisnis waswas tentang terjadinya penurunan penjualan.
Akibat berikutnya bahwa kontraksi penjualan secara drastis tidak dapat diimbangi dengan kemampuan pengendalian biaya tetap (fixed costs) secara segera. Sehingga, perusahaan mengalami kerugian. Apabila kerugian tidak dapat diatasi untuk jangka waktu panjang, maka kebangkrutan adalah akibat terparah yang dapat dialami perusahaan.
Sebenarnya, sekalipun pemberitaan tentang resesi tiada hentinya, kalau kita berhenti sejenak dan mencoba mencerna semua berita yang mengkhawatirkan ini, kita akan dihadapkan kepada masalah. Bahwa meski banyak yang berbicara tentang resesi, namun arahnya macammacam. Hal yang sebenarnya dimaksud juga tidak ada keselarasan. Ada yang berbicara secara umum, ada pula yang spesifik mengatakan bahwa tahun 2023 diperkirakan adalah tahun yang “gelap” dikarenakan resesi.
- BERITA TERKAIT
- Kunci Utama Memimpin Tim Tetap Solid di Tengah Krisis Komunikasi
- Demokrasi di Meja Makan
- Peran Pengelolaan “Stakeholder” Mendukung Penerapan ESG dan Keberlanjutan
- Pentingnya Juru Bicara dalam Membangun Kredibilitas IKN
- Begini Rahasia Sukses Konferensi Pers