Manajemen risiko reputasi (reputational risk) ternyata memiliki definisi dan tujuan yang berbeda dengan manajemen krisis. Seperti apa perbedaannya?
Saat ini, reputasi positif dan kuat dapat menarik lebih banyak orang, memberi nilai lebih, dan membuat pelanggan menjadi lebih setia. Hal ini dikarenakan masyarakat percaya bahwa perusahaan akan terus tumbuh dan berkelanjutan.
Dalam ekonomi, 70-80 nilai pasar berasal dari aset intangible seperti ekuitas merek, modal intelektual, dan niat baik (goodwill). Nah, aset-aset tersebut masuk ke dalam ranah reputasi. Untuk itu, menjaga reputasi menjadi penting bagi perusahaan. Namun, perlu upaya memahami risiko agar reputasi tidak cedera.
Isu inilah yang mencuat dalam Communication Circle January Edition: Building Reputation with Communication Professional Development yang berlangsung virtual, Selasa (31/1/2023). Acara yang digagas oleh PR & Communication Management Society of Indonesia ini menghadirkan Chairperson PR & Communication Management Society of Indonesia Inadya Aristyavani sebagai pembicara.
Menurut Inadya, risiko reputasi dapat disebabkan oleh tiga hal. Pertama, secara langsung sebagai hasil aksi dari perusahaan. Kedua, tidak langsung yang disebabkan oleh aksi dari karyawan. Ketiga, tangensial yang disebabkan oleh pihak ketiga seperti mitra atau pemasok.
Bonime-Blanc & Ponzi dalam Understanding Reputation Risk: Part I (2016) mengatakan, konsep risiko reputasi (reputational risk) adalah citra organisasi dalam mengelola suatu risiko. Risiko reputasi berkaitan dengan pengelolaan terhadap ancaman atau bahaya terhadap stabilitas kesehatan organisasi. Sementara manajemen reputasi adalah sistem yang ditujukan untuk mengelola kemungkinan kegagalan reputasi. Manajemen risiko reputasi itu dimaksudkan sebagai sistem yang mampu memitigasi risiko reputasi dan membangun keberlanjutan organisasi secara jangka panjang.
Meski kerap dianggap sama, ternyata manajemen risiko reputasi berbeda dengan manajemen krisis. Inadya melanjutkan, perbedaan pertama dari manajemen risiko reputasi bersifat jangka panjang sedangkan manajemen krisis bersifat jangka pendek. Apabila dilihat dari tujuan, manajemen risiko reputasi bertujuan untuk mempersiapkan potensi risiko yang akan terjadi.
Sementara manajemen krisis bertujuan untuk menyelesaikan krisis yang sedang terjadi. Perbedaan lainnya, manajemen risiko reputasi dilakukan saat reputasi organisasi sedang dalam kondisi baik. Sedangkan manajemen krisis dilakukan setelah reputasi perusahaan turun dan terancam jatuh.
Antisipasi
Menurut Inadya, risiko reputasi diperoleh melalui implementasi enterprise risk management (ERM). Salah satu bagian penting dari ERM adalah penilaian risiko. Organisasi atau perusahaan harus mempunyai tolak ukur yang jelas dalam mengindetifikasi risiko beserta dampak dari masing-masing risiko.
Untuk mengantisipasi risiko reputasi, kata PR & CSR Department Head of Tugu Insurance ini, public relations (PR) harus mengelola komunikasi internal dan eksternal dengan baik. Komunikasi internal dilakukan oleh PR secara terusmenerus dengan memberikan informasi kepada anggota organisasi mengenai risiko. Anggota organisasi harus sadar mengenai potensi risiko dan mampu melakukan berbagai upaya dalam mengelola dan meminimalisasi risiko.
Sedangkan untuk komunikasi eksternal, PR dapat berkomunikasi dengan segenap stakeholders, media, dan masyarakat luas. “PR harus terus mengomunikasikan manajemen risiko yang sudah dilakukan oleh organisasi,” katanya. Dengan informasi yang baik dan terus-menerus, akan terbentuk persepsi organisasi dengan citra positif terkait pengelolaan risiko di benak stakeholders dan publik. (rvh)
- BERITA TERKAIT
- Masih Ada Peluang, Pendaftaran Kompetisi Karya Sumbu Filosofi 2024 Diperpanjang!
- Perhumas Dorong Pemimpin Dunia Jadikan Komunikasi Mesin Perubahan Positif
- Berbagi Kiat Membangun Citra Lewat Kisah di Kelas Humas Muda Vol. 2
- Membuka WPRF 2024, Ketum Perhumas Soroti Soal Komunikasi yang Bertanggung Jawab
- Dorong Kecakapan Komunikasi, Kementerian Ekraf Apresiasi Kelas Humas Muda Vol. 2