Pada saat krisis, antara logika, prioritas, dan fokus media tidak akan sama dengan organisasi. Sedikit saja salah merespons akibat adanya perbedaan itu dapat mencederai hubungan yang selama ini sudah terjalin baik.
PEKANBARU, PRINDONESIA.CO -- Faktor kedekatan dengan media menjadi sangat krusial ketika organisasi mengalami krisis. Saat krisis, antara logika, prioritas, dan fokus media tidak akan sama dengan organisasi. Namun, media yang sudah memiliki hubungan baik dengan praktisi public relations (PR) akan memastikan beritanya berimbang. Demikian pernyataan CEO Center for Public Relations, Outreach and Communication (CPROCOM) Emilia Bassar di hadapan 35 peserta in-house training Rumah Sakit (RS) Awal Bros di Pekanbaru, Riau, Senin (17/4/2023).
Pada saat krisis, kemampuan PR pun diuji. Sedikit saja salah memberikan respons, bisa mencederai hubungan yang selama ini sudah terjalin mesra dengan media. Saat krisis, Emil, begitu ia karib disapa, mengatakan, praktisi PR dituntut untuk mampu menyediakan informasi yang bermanfaat, terbuka, jujur, dan lengkap.
Dalam informasi yang disampaikan tersebut, PR juga harus menonjolkan fakta. Apabila ada pertanyaan di luar kapasitas, ada baiknya PR berkata secara jujur. Sebab, PR juga tidak boleh berspekulasi. “Jangan malah bilang no comment,” katanya. Langkah berikutnya, PR harus menyampaikan pesan secara konsisten, menunjukkan ekspresi sesuai keadaan, salah satunya berempati.
Pernyataan tersebut mengundang pertanyaan di kalangan peserta. Terutama terkait cara PR dalam menghadapi gempuran pertanyaan dari rekan-rekan media saat krisis. Emil menjawab, sebaiknya PR melakukan pemetaan terhadap kepentingan media. Apabila mengalami krisis, ia juga menyarankan agar PR jangan defensif apalagi berbohong. Ia juga berpesan agar PR mampu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari wartawan melalui siaran pers. “Dengan begitu, wartawan akan merujuk dari keterangan kita, bukan dari media sosial maupun pihak lain,” katanya.
Mulai dari Sekarang
Nah, kembali lagi dalam konteks membangun hubungan relasi dengan media, menurut perempuan yang pagi itu membawakan materi bertajuk “Strategies and Tactics for Effective Crisis Management” ini, sama seperti halnya PR membangun reputasi. “Membangun hubungan dengan media tidak bisa dilakukan sekejap mata,” katanya. Hubungan yang dibangun dengan mereka juga harus murni hubungan persahabatan, bukan sekadar ketika ada perlunya saja. Bahkan, bisa dimulai dari cara yang sederhana mulai dari menyampaikan selamat ulang tahun sampai menanyakan kabar lewat fitur berkirim pesan.
Emil juga meminta peserta yang datang dari level manajer hingga direktur RS Awal Bros itu untuk memperhatikan beberapa hal sebelum membangun hubungan dengan media. Antara lain, memastikan media yang bersangkutan telah terverifikasi Dewan Pers, wartawan tersebut telah mengikuti Uji Kompetensi Wartawan, dan merupakan bagian dari organisasi wartawan. Menurut dosen Komunikasi Pascasarjana Universitas Mercu Buana tersebut, tujuannya agar PR terhindar dari aksi premanisme yang dilakukan oleh wartawan gadungan atau kerap dijuluki “bodrex” itu.
Hal lainnya yang harus diperhatikan PR sebelum membangun hubungan dengan media adalah memetakan mereka sesuai kepentingannya. Menurut Emil, PR perlu memperkuat analisis mengenai political, economic, social, technological, environmental, legal (PESTEL) terkait media. Apalagi sekarang negeri ini sedang memasuki tahun politik. Menurutnya, analisis ini adalah langkah pencegahan agar PR tidak larut dalam kepentingan dan keberpihakan media. (rvh)
- BERITA TERKAIT
- Ini Tahapan Mengelola Isu
- Kenali Tiga Model Pendekatan Agar Kampanye PR Makin Efektif
- Ini Kunci Menjadi PR yang Strategis
- Cara Membangun Hubungan yang Efektif dengan Media
- Ini Pentingnya Menjalin Hubungan yang Positif dengan Media Kala Krisis