Fenomena flexing atau memamerkan kekayaan yang dilakukan oleh para pejabat publik dan keluarganya di media sosial, berlawanan dengan etika pejabat publik/Aparatur Sipil Negara (ASN), untuk berpola hidup sederhana. Kondisi ini menyisakan masalah tersendiri terkait gagapnya pengelolaan risiko dan strategi komunikasi internal.
Oleh: Moch N. Kurniawan, Dosen Ilmu Komunikasi Swiss German University
Fungsi manajemen, kepatuhan, komunikasi, dan sumber daya manusia seolah tidak mendeteksi atau belum cukup mumpuni dalam mendeteksi flexing sebagai perilaku dengan risiko tinggi. Atau, bisa jadi flexing terdeteksi sebagai suatu risiko, namun bukan masuk kategori risiko tinggi.
Kegagapan dalam mengidentifikasi risiko flexing ini berakibat fatal bagi institusi publik, meskipun tidak selalu sama besaran dampaknya. Terkuaknya kasus manipulasi Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN), gratifikasi/korupsi hingga krisis reputasi merupakan imbas dari flexing bagi insitusi publik. Sedangkan bagi pelaku flexing bisa berujung sanksi dinonaktifkan, dicopot jabatannya, hingga dipecat. Dampak-dampak ini seharusnya bisa diproyeksikan pada saat awal pengelolaan risiko. Sebab, besarnya dampak inilah yang membuat flexing dikategorikan perilaku berisiko tinggi.
- BERITA TERKAIT
- Kunci Utama Memimpin Tim Tetap Solid di Tengah Krisis Komunikasi
- Demokrasi di Meja Makan
- Peran Pengelolaan “Stakeholder” Mendukung Penerapan ESG dan Keberlanjutan
- Pentingnya Juru Bicara dalam Membangun Kredibilitas IKN
- Begini Rahasia Sukses Konferensi Pers