Oleh: Noke Kiroyan, Chairman & Chief Consultant KIROYAN Partner.
Dalam pembahasan profesional tentang krisis dan reputasi senantiasa muncul dua kasus yang mewakili dua cara penanganan yang berlawanan. Yang pertama dijadikan teladan dalam penyelesaian krisis dan justru melambungkan nama perusahaannya, bahkan menjadi contoh crisis management yang berhasil sangat baik dan menjadi acuan dalam bidang ini.
Kasus pertama menimpa perusahaan farmasi Johnson & Johnson terkait produknya yang dijual bebas, Tylenol. Obat ini untuk mengurangi nyeri dan gejala penyakit ringan, seperti Panadol di Indonesia. Bahan generiknya pun sama. Pada 1982, beberapa orang meninggal sesudah minum obat tersebut. Hasil investigasi menemukan bahwa obat tersebut ternyata telah dilumuri bahan kimia yang mematikan, sianida, oleh pihak-pihak yang berniat jahat.
Saat itu Tylenol merupakan obat terlaku untuk kategori penghilang rasa sakit yang dijual bebas (over-the counter) dengan pangsa pasar 35%. James Burke, Chief Executive Officer (CEO) Johnson & Johnson, pada waktu itu mengambil tindakan drastis yang tidak pernah terjadi sebelumnya, dan oleh karenanya tidak ada acuan yang dapat dijadikan pedoman. Keputusan berani yang diambilnya adalah menarik produk Tylenol di seluruh Amerika Serikat, kemudian secara transparan mengumumkan hal yang telah terjadi dan meminta semua pihak untuk sementara tidak mengonsumsi obat tersebut.
- BERITA TERKAIT
- Kunci Utama Memimpin Tim Tetap Solid di Tengah Krisis Komunikasi
- Demokrasi di Meja Makan
- Peran Pengelolaan “Stakeholder” Mendukung Penerapan ESG dan Keberlanjutan
- Pentingnya Juru Bicara dalam Membangun Kredibilitas IKN
- Begini Rahasia Sukses Konferensi Pers