
Harus diakui bahwa berkat kontribusi Ivy Lee istilah PR semakin populer di dunia. Namun, kita tidak bisa menutup mata bahwa Panembahan Senopati sudah dahulu mengawali praktiknya di Nusantara.
Oleh: Syukron Ali, Praktisi Komunikasi & Founder Resolusi.id
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Mendalami ilmu komunikasi dan public relations (PR) semakin menarik bagi saya. Berbagai literasi terus saya konsumsi, seperti membaca artikel di PR INDONESIA, menganalisa study case dari berbagai perusahaan/lembaga, belajar dari para senior dan tim ahli, serta mengamati banyak aspek dalam keseharian dari sudut pandang komunikasi dan PR.
Dalam sejarahnya, kehadiran PR tidak lepas dari kontribusi Ivy Ledbetter Lee dan Edward Bernays. Bagi praktisi PR, tentu sudah tidak asing lagi dengan dua nama itu. Sebagai Bapak PR Dunia, keduanya berperan penting dalam merumuskan teori dan praktik tentang PR yang sampai saat ini terus diterapkan oleh banyak perusahaan/lembaga di dunia.
Sebagai praktisi PR, saya terus menggali berbagai referensi tentang peran penting PR lintas zaman. Jika zaman Ivy Lee tahun 1906 atau sekitar awal abad 20 berhasil menyelesaikan krisis mogok buruh batu bara di Amerika Serikat dan melahirkan Declaration of Principles (1906), maka, pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan praktik PR di Indonesia? Apakah zaman itu sudah ada ?
Jurnal Komunikasi Volume 3, Nomor 2, April 2009 berjudul Praktik Public Relations (PR) di Indonesia (Masa Lalu, Masa Kini, dan Masa Datang) adalah jawabannya. Jurnal yang ditulis oleh Widodo Muktiyo, dosen Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret Surakarta itu menjelaskan bahwa praktik PR di Indonesia sudah ada bahkan sejak zaman kerajaan.
Jika merujuk pada jurnal tersebut, dapat disimpulkan bahwa praktik PR di bumi Nusantara sudah ada terlebih dahulu sekitar tahun 1600, atau ratusan tahun sebelum Ivy Lee mengenalkan kegiatan PR di tahun 1906. Meski harus diakui bahwa berkat kontribusi Ivy Lee istilah PR itu semakin populer di dunia, tetapi kita tidak bisa menutup mata bahwa Panembahan Senopati nyatanya sudah dahulu mengawali praktiknya.
Memang, ada perbedaan latar belakang keduanya. Praktik PR di Amerika Serikat dilandaskan pada realitas krisis pada sektor industri dan bisnis. Sementara praktik PR di Nusantara dilandaskan pada perjuangan politik kebangsaan. Persamaan keduanya adalah menerapkan strategi komunikasi untuk mendapat simpati dan perhatian dari masyarakat.
Penerapan PR di Nusantara saat itu dipraktekkan langsung oleh Panembahan Senopati pada abad 16. Raja dan Pendiri kerajaan Mataram itu memainkan perannya sebagai “PR Stunt” yang berhasil mempengaruhi persepsi publik bahwa dirinya dan keturunannya kelak akan menjadi pasangan Nyai Roro Kidul. Persepsi yang dibangun ini dilancarkan untuk menarik simpatik khalayak dan menjadi “pembeda” dari strategi komunikasi para Sunan.
Hasilnya, mungkin sampai sekarang pun kita terus mendengar dengan berbagai versi dan sudut pandang tentang Nyai Roro Kidul sejak strategi komunikasi itu dijalankan oleh Panembahan Senopati. Dari sana dapat kita simpulkan bahwa dengan pengelolaan yang tepat, persepsi dan reputasi sebuah entitas dapat berusia panjang hingga ratusan tahun.
Sebagai praktisi komunikasi, tidak ada salahnya jika kita juga mulai menggali khazanah budaya dan warisan Nusantara di berbagai bidangnya. Siapa tahu semua istilah PR yang sekarang kita amini dan pelajari itu sebenarnya sudah diawali oleh para pendahulu kita. Hanya beda istilah dan penamaannya aja.
Karena bagi saya, dalam menyusun rencana PR atau rencana strategi juga harus memperhatikan berbagai aspek keilmuan lain seperti sosial, budaya, politik, ekonomi, psikologi, teknologi termasuk sejarahnya juga.
- BERITA TERKAIT
- Antara Praktik PR dari Ivy Lee dan Panembahan Senopati
- Ketika Indonesia Bicara Lewat Budaya, Olahraga, Kuliner, dan Panggung Dunia
- Kebangkitan “Blogger” dan Strategi Komunikasi Media Warga
- Lima Elemen yang Dibutuhkan untuk Membangun “Personal Branding”
- Ragam Strategi agar Pelaku Pariwisata Bertahan Selama dan Setelah Pandemi