Isu perubahan iklim telah membuka banyak diskusi terkait pentingnya mewujudkan lingkungan yang berkelanjutan. Namun, aspek keberlanjutan tidak cukup hanya dibicarakan, perlu komitmen dari semua kalangan.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Upaya mewujudkan kegiatan berkelanjutan kini tengah menjadi sorotan dari semua kalangan. Konsep environmental, social, dan governance (ESG) menjadi salah satu metode pendekatan yang sedang menjadi fokus di berbagai korporasi dari lintas sektor di seluruh dunia. Dengan penerapan aspek ini diharapkan akan mendorong instansi dan korporasi untuk mempertimbangkan dampak lingkungan, sosial, dan praktik tata kelola keberlanjutan yang baik sekaligus menjadi solusi untuk mengatasi perubahan iklim.
Komitmen dalam menjalankan aspek ini juga merupakan hal mendesak yang harus segera dilakukan oleh perusahaan atau instansi. Tujuannya, agar pertumbuhan ekonomi turut sejalan dengan komitmen mitigasi perubahan iklim internasional yang dicetuskan dalam The Paris Agreement (Perjanjian Paris), traktat internasional yang mencakup mitigasi, adaptasi, dan pendanaan perubahan iklim.
Salah satu poin utama dari perjanjian yang diratifikasi sejak tahun 2015 itu adalah untuk memperlambat laju pemanasan global akibat perubahan iklim di bawah 2 derajat Celsius, atau paling ideal 1,5 derajat Celsius. Dalam perjanjian tersebut, Indonesia juga menyatakan komitmen untuk dapat mencapai target karbon netral atau net zero emission (NZE) pada 2060. Bahkan, dalam konferensi pers APBN KiTA edisi Oktober 2023, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, dunia terancam kehilangan potensi ekonomi mencapai 10 persen jika karbon netral atau emisi nol tidak tercapai pada 2050.
- BERITA TERKAIT
- Komunikasi Publik di Persimpangan: Tantangan dan Peluang Pemerintahan Baru
- Mengelola Komunikasi Publik IKN dalam Masa Transisi
- Komunikasi Publik IKN: Membangun Sinergi Semua "Stakeholder"
- Komunikasi Publik IKN: Tampak Belum Kompak
- Komunikasi Publik IKN: Mengukur Dampak Sosial dan Ekonomi