Selama ini kita mengenal lima kategori perang: perang darat, laut, udara, ruang angkasa, dan siber. Kita tak menyadari, ketika hoaks telah merasuk dalam kehidupan sehari-hari, pada fase inilah sebenarnya kita sudah memasuki perang dimensi yang keenam. Yakni, perang kognitif.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Fakta ini disampaikan oleh Ketua dan Pendiri Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja K. dalam seminar yang bertajuk "Hoax: Wajah Peperangan Baru Bagi Reputasi Korporat" di MM Komunikasi Trisakti, Jakarta, Rabu (13/2/2019). Untuk lebih mudah memahaminya, perang kognitif adalah perang opini publik. Kondisi ini jamak terjadi belakangan ini. Masyarakat saling perang urat syaraf memperdebatkan informasi yang sesungguhnya hoaks belaka.
Ia lantas mengajak seluruh praktisi public relations yang hadir di acara rutin yang diselenggarakan EGA briefings tersebut untuk mengenal hoaks dan ekosistemnya. "Sebagai garda terdepan perusahaan, PR wajib mengetahui hal ini agar siap menghadapi krisis," katanya. "Sehingga ketika krisis mencuat, publik akan minta penjelasan lebih rinci atau kepo. Sekarang, PR tidak bisa menggunakan jawaban normatif karena akan menimbulkan distraksi,” imbuh Ardi.
Menurutnya, ada tiga elemen yang mendukung hoaks menyebar dengan cepat. Antara lain:
Perbedaan jenis konten yang dibuat dan dibagikan
Satir/parodi (tidak ada niat untuk menyebabkan kerusakan tetapi berpotensi untuk membodohi), konten yang menyesatkan, konten yang tidak penting (ketika sumber konten asli dipalsukan), konten buatan (konten yang 100 persen salah, dirancang untuk menipu dan merugikan), kesalahan koneksi (ketika headline, visual, dan keterangan tidak mendukung satu sama lain), kesalahan konteks (ketika konten asli disebarkan dengan informasi kontekstual yang salah), dan konten yang memanipulasi.
Motivasi dari orang yang membuat konten
Bisa jadi dilatarbelakangi oleh faktor jurnalisme yang buruk, tujuan untuk membuat parodi, memprovokasi, mengajak publik berpartisipasi atau terlibat, mendapatkan keuntungan, memengaruhi secara politik, dan propaganda.
Cara konten didiseminasikan
Contoh, melalui media seperti surat kabar, aplikasi pesan, portal berita, media sosial, kelompok (komunitas) kecil. Bahkan, media besar pun berpotensi memproduksi berita hoaks.
Dengan mengetahui unsur-unsur ini, Ardi berharap PR dapat melakukan usaha preventif dan antisipatif terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat yang berpotensi menciderai perusahaannya. Layaknya militer, ketika berhadapan dengan hoaks, PR harus mengetahui proses, melakukan profiling, analitik sehingga mereka bisa merumuskan strategi kontra/perlawanan yang tepat. "PR adalah ilmu siasat," katanya.
Selain itu, ia melanjutkan, perkuat pertahanan dengan membangun budaya antisipatif dan preventif, keamanan dan keselamatan, kolaboratif dan koordinatif, serta saling menghormati dan beretika dalam pergaulan. (rvh/rtn)
- BERITA TERKAIT
- PRecious Communications Tunjuk Radityo Prabowo sebagai Country Lead Indonesia
- 3 Prioritas Anjari Umarjinto yang Kembali Terpilih Sebagai Ketum PERHUMASRI
- APPRI Luncurkan Buku PR di Indonesia Dari Masa ke Masa
- Momen Pilkada, Ini 4 Alasan Unit PR Butuh Strategi Komunikasi Khusus
- Refleksi Satu Dekade Komunikasi Jokowi dari Para Pakar