Bijaklah Kala Berucap

PRINDONESIA.CO | Kamis, 02/01/2020 | 3.102
Banyaknya kasus salah ucap menjadi pelajaran penting bagi para pejabat publik untuk belajar bicara yang benar. Benar secara konten dan sekaligus konteks.
Dok. Istimewa

Bicara itu mudah, namun efek dari apa yang dibicarakan bisa tidak semudah saat dikemukakan.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Mulutmu adalah harimaumu. Pepatah klasik itu menggambarkan risiko sebuah ucapan yang  kerap tidak dipikirkan, lalu berakibat fatal menerpa si empunya ucapan.

Terlalu banyak kasus salah ucap, keliru bicara, yang kemudian memantik makian, hujatan, hingga krisis personal dan kelembagaan. Terlebih yang muncul dari pejabat publik. Sebutlah ucapan seorang Menteri soal “celana cingkrang”, “nikab”, hingga “radikalisme”. Belakangan, Sang Menteri mengklarifikasi semua ucapannya itu sebagai tidak sebagaimana yang disangkakan oleh publik. Diantaranya, ia bilang bahwa dirinya tidak melarang perempuan memakai cadar, namun tidak boleh dilakukan oleh aparatur sipil negara (ASN) saat bertugas di lingkungan lembaga pemerintah. Pun dengan celana cingkrang, yang “hanya” ia larang digunakan oleh ASN saat bertugas.

Kasus lain soal ucapan seorang Gubernur yang melarang wisatawan “miskin” berkunjung ke daerahnya. Lagi-lagi, ucapan (salah) itu diklarifikasi anak buahnya sebagai sebuah “bahasa marketing”. Meski telah diklarifikasi, baik ucapan si Menteri maupun Sang Gubernur, adalah pertanda komunikasi publik yang kurang cantik. Apapun alasannya, kegaduhan sudah tercipta di publik. Bayangkan jika mereka tidak pernah berucap soal beberapa isu di atas, tentu potensi kehebohan di publik tidak akan pernah tercipta.

Menjadi pejabat publik seyogianya perlu mengerem bicara jika tidak yakin apa yang hendak diungkapkan benar-benar aman. Sekadar melontarkan wacana agar mendapat respons publik, tidak ada faedahnya sama sekali.

Bicara yang Benar

Pelajaran penting bagi para pejabat publik dari begitu banyak kasus salah ucap, adalah pentingnya belajar bicara yang benar. Benar secara konten dan sekaligus konteks. Ada pepatah Jawa yang berbunyi: “Bener ning kudu Pener”. Ucapan yang benar, harus memerhatikan pula konteks atau momentum yang benar pula. Karena jika tidak, meski konten ucapannya benar, jika salah momentum, akan berpotensi berdampak negatif saat diucapkan.

Bagaimana caranya pejabat publik itu sadar bahwa (gaya) bicaranya perlu diatur, tidak asal bicara di sembarang tempat dan sesuka hati? Semestinya ada “alert” dari tim komunikasi di sekitar sang pejabat publik, yang berani memberikan input tentang cara bicara sang pejabat. Sayangnya, tidak semua tim komunikasi di lingkaran dalam pejabat publik punya keberanian mengingatkan sang Boss.

Kadangkala malah meminta bantuan pihak ketiga (third party) untuk memberikan perspektif cara bicara yang baik kepada pimpinannya itu. Tentu ini tidak salah. Namun, sosok yang berada hampir setiap hari di sekitar pejabat publik itulah yang harus bisa mengingatkan.

Inilah tantangan serius sekaligus menarik bagi para praktisi public relations (PR) yang berada di lingkaran “dalam” para pejabat publik. Entah ia Staf Khusus Komunikasi, Kepala Biro Humas, Direktur Komunikasi, maupun Staf Ahli Komunikasi. Tugas mereka yang sangat penting sama: Memberi nasihat kepada sang Boss agar saat bicara benar-benar tepat dan –tentu saja—bijaksana.

Saya jadi teringat dengan prinsip Ivy Lee, sang Bapak PR modern. Bahwa PR, dan tentu saja para pemimpin, saat bicara haruslah menyampaikan konten yang benar (truth) dengan fakta yang akurat. Khusus bagi sang PR, Lee menambahkan dengan nasihat, supaya memperjuangkan diri agar dekat dengan boss dan bisa memengaruhi kebijakan/gaya komunikasi yang akan disampaikan oleh boss kepada publik/audiens, jika berpotensi menimbulkan kegaduhan.

Wahai para pejabat publik, bijaklah mengelola (gaya) komunikasimu dan selalu ingatlah nasihat Ivy Lee dan pepatah klasik Jawa tadi. Jika tidak, bersiaplah menghadapi badai krisis komunikasi akibat ucapan-ucapan yang tidak Benar dan Tepat. Tabik! (asw)