Adaptasi Pascapandemi

PRINDONESIA.CO | Jumat, 29/05/2020 | 1.341
Wabah Corona secara perlahan memaksa mengubah gaya hidup dan cara beraktivitas
Dok. Istimewa

Corona telah mendesak semua orang untuk berdiam diri di rumah. Bukan untuk merenung. Melainkan untuk melindungi diri dan keluarga dari potensi paparan virus mematikan ini. Sekaligus, tetap mencoba beraktivitas dari rumah. 

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Wabah Covid-19 benar-benar membuyarkan banyak aktivitas sosial, budaya, keagamaan, hingga ekonomi nyaris semua orang di muka bumi ini. Dari Inggris hingga Amerika Serikat. Dari Senegal hingga Tokyo.

Kantor-kantor kini sepi. Terlebih sejak beberapa daerah memberlakukan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Hanya segelintir kantor–khususnya milik pemerintah dan layanan publik korporasi—yang buka. Itu pun jam kerjanya dibatasi. Semua bertujuan mencegah meluasnya sebaran Covid-19.

Banyak hal mulai berubah akibat pandemi ini. Situasi sudah berkembang menjadi krisis. Awalnya adalah krisis kesehatan. Dunia kesehatan global berguncang keras dihantam badai Corona. Vaksin untuk mengobatinya belum ada. Entah kapan bakal bisa diproduksi masif? Mungkin saja produksi vaksin anti-Corona baru bisa terwujud setelah Covid-19 pergi. Setidaknya mereda, tidak seganas sekarang.

Krisis pun meluas. Akibat tidak bisa beraktivitas karena berpotensi terpapar Corona, mesin-mesin ekonomi melambat. Pabrik-pabrik tutup. Sektor pariwisata yang di awal pandemi menerima insentif ratusan miliar bagai mati suri. Banyak hotel tutup. Frekuensi penerbangan turun drastis. Ratusan pesawat diparkir di bandara, akibat sepi penumpang. Meski harga tiket terkoreksi tajam, banyak orang enggan naik pesawat takut terpapar Corona. Perjalanan kereta api juga sudah dibatasi. Destinasi wisata sepi, nyaris tak ada kerumunan manusia menikmati obyek wisata. Sektor informal apalagi. Pedagang kaki lima terpukul.

Pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak lagi bisa dibendung di banyak sektor industri. Sementara, kebutuhan dasar manusia–pangan, setidaknya—makin sulit terpenuhi, akibat ketiadaan pendapatan. Ekonomi domestik terhentak. Proyeksi Menteri Keuangan Sri Mulyani, bisa jadi pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal menyentuh 2,3 persen di akhir tahun. Atau bisa lebih dramatis lagi minus 0,4 persen, manakala Corona tak segera pergi di bulan Juni.

Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) memang telah bergerak menggelar stimulus ekonomi yang jumlahnya tak kurang dari Rp 405 triliun. Warga terdampak Covid-19 secara kesehatan dan ketahanan ekonomi menjadi prioritas stimulus tersebut.

Adaptasi

Bagi mereka yang secara ekonomi tidak terlalu terdampak, wabah Corona secara perlahan memaksa mengubah gaya hidup dan cara beraktivitas ekonomi sehari-hari. Ekosistem bekerja dari rumah (work from home/WFH), ternyata bisa juga dilakukan, yang awalnya begitu canggung bagi sebagian pekerja. Bukan hanya bagi mereka yang terbiasa berdagang on-line (baju, elektronik, parfum, dll). Bekerja dari rumah semacam memindahkan kantor saja ke kediaman pribadi.

Kita benar-benar mulai beradaptasi, menerima kenyataan bahwa tidak memungkinkan menjalani aktivitas keseharian secara normal. Andaipun wabah Corona telah lewat kelak, adaptasi peradaban baru akan masih berlangsung cukup panjang. Enam bulan, atau bisa jadi setahun, terhitung dari masa awal pademi terjadi. Indikasinya? Semua event global telah diundur ke tahun 2021. Olimpiade Tokyo, salah satunya. Pilkada langsung pun terancam mundur. Atau, malah bergaya vote from home? Entahlah.

Dalam situasi seperti ini, komunikasi yang mencerahkan, kredibel, dan legitimate sangat dibutuhkan. Komunikasi yang memandu rakyat meniti krisis sampai tuntas. Semua ini berasal dari pemimpin, di semua level. Kepemimpinan yang mampu menghidupkan harapan, sekaligus memandu rakyat beradaptasi di masa wabah. Komunikasi yang merangkul, mengimbau, sekaligus mengedukasi agar tidak jalan sendiri-sendiri.

Yang pasti, jika tak ingin kaget dengan masa pemulihan pascapandemi, bersiaplah menerima banyak perubahan baru dari sekarang. Siapa tahu, pascapandemi Corona, harga-harga barang dan jasa semakin murah, akibat pendapatan rakyat juga sedang melemah. Gaya komunikasi publik pun semoga semakin sehat dan tetap prorakyat. Tabik! (Asmono Wikan)