“Beyond Good Journalism”

PRINDONESIA.CO | Jumat, 17/06/2022
Jurnalisme berkualitas sedang menghadapi pertempuran dengan hoaks dan berita palsu
Dok. Istimewa

Ketika kepercayaan terhadap sebuah lembaga pers mulai terkoreksi, maka pilihan terbaik adalah memulihkannya dengan memastikan konsistensi praktik jurnalisme berkualitas.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Jurnalisme berkualitas pada beberapa tahun terakhir, sedang menghadapi pertempuran yang sengit dengan hoaks dan berita palsu (fake news). Umumnya, kedua hal itu datang dari sumber-sumber informasi di media sosial. Celakanya, kerap kali berasal dari akun tidak bernama (anonim). Ribuan hoaks dan fake news yang berhamburan di tengah publik, menggoyahkan kepercayaan terhadap sumber informasi yang kredibel.


Seolah-olah, akal sehat dan kewarasan publik, tengah dikepung oleh irasionalitas dan halusinasi berlebihan yang diciptakan orang-orang tidak bertanggung jawab di dunia maya. Publik terbelah. Mereka yang akal sehatnya ciut, akan memercayai “kebenaran” hoaks. Sebaliknya, yang kritis, aware, dan memiliki kemampuan mengonfirmasi informasi hoaks, akan lebih obyektif dan tenang. Bersikap skeptis. Tidak mudah percaya begitu saja.


Cek dan ricek akan mereka lakukan ke media arus utama (media mainstream). Supaya memperoleh kebenaran informasi yang sesungguhnya. Inilah sikap dan tindakan yang tepat. Sayangnya, masih banyak warga republik ini, yang cenderung mudah percaya hoaks ketimbang berita yang sebenarnya.


Masyarakat antifitnah Indonesia (Mafindo) akhir 2021 bahkan menyebut hampir 60 persen warga Indonesia yang melek internet, telah terpapar hoaks. Bahkan, dari tahun ke tahun, angkanya terus meningkat. Sungguh sebuah situasi yang mengkhawatirkan.  Menurut pemeriksa fakta senior Mafindo Dedy Helsyanto, dalam forum diskusi di akhir tahun tersebut di Mataram (28/12/2021), kebanyakan hoaks terkait isu sosial politik, SARA, kesehatan, berita duka, kecelakaan, dan lowongan pekerjaan.


Yang menggembirakan, tidak ada berita hoaks yang dibuat oleh media (pers). Disiplin pemberitaan oleh lembaga pers memang sangat ketat. Aturan-aturan tentang verifikasi dan validasi informasi dan data adalah tuntutan yang harus dipenuhi sebelum berita ditayangkan. Sistem ruang pemberitaan (newsroom) di sebuah lembaga pers, menjadikan berita yang akan tayang telah diuji kelayakannya. Oleh karenanya, jika pun ada berita yang kurang layak namun lolos tayang, sungguh bukanlah sebuah upaya sistematis untuk menyebarkan “berita sampah”.

 

Kepercayaan Publik

Media arus utama bertumpu pada kepercayaan masyarakat (public trust). Mereka akan menjaga sungguh-sungguh agar kepercayaan publik tidak terdisrupsi.  Suatu saat nanti ketika publik semakin jenuh dan risih dengan begitu derasnya ujaran kebencian, hoaks, dan berita palsu di media sosial, maka media arus utama adalah alamat yang valid untuk mengonfirmasinya. Media arus utama adalah panduan bagi publik dalam mengambil keputusan-keputusan penting. Baik di bidang sosial, politik, ekonomi, hingga kebudayaan.


Untuk dan atas nama publik agar selalu tercerahkan, jurnalisme berkualitas mutlak dihadirkan secara konsisten oleh media arus utama. Semata-mata, pada akhirnya, bukan sekadar untuk melawan hoaks dan berita palsu dari media sosial. Melainkan, lebih jauh dari itu, guna membersamai masyarakat dan bangsa ini hidup dalam dunia yang penuh dengan nilai-nilai dan perilaku keadaban.


Itulah beyond good journalism. Tabik! (Asmono Wikan)