Banyak Mendengar di Zaman Digital

PRINDONESIA.CO | Rabu, 01/11/2017 | 1.813
PR era digital harus lebih banyak mendengar.
Dok. Istimewa

Era digital telah mengajarkan banyak hal bagi praktisi public relations (PR). Salah satunya, pelajaran mendengarkan suara-suara audiens. Jika sudi mendengarkan suara mereka, kampanye komunikasi yang dibangun pun akan lebih efektif.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO -  Sekilas memang terkesan aneh. Di saat begitu mudah berbicara, berkomentar, dan bahkan berekspresi visual melalui kanal digital, khususnya media sosial, praktisi PR justru diminta tidak berbicara, sebelum mendengarkan apa yang menjadi “kata konsumen/audiens”. Mengapa harus demikian?

Mendengarkan suara-suara audiens di media sosial, sejatinya adalah langkah awal mengelola penggunaan media sosial perusahaan yang tepat. Karena dengan hal inilah sejatinya dapat memudahkan kinerja PR. Khususnya, dalam hal meningkatkan brand awareness dan trust dari konsumen.

 

Perubahan Konsumen

Menurut Junita Kartikasari, Head of Consumer & Costumer Engagement Combiphar, para praktisi PR di mana pun, seyogianya berubah untuk mulai serius mengelola media sosial, sebagai akibat adanya perubahan perilaku konsumen (audiens). Pengelolaan media sosial perusahaan juga mesti dilakukan dengan benar dan hati-hati, tidak sekadar asal jalan.

Salah satu strateginya adalah dengan mendengarkan apa yang menjadi keinginan konsumen. “Dulu, PR hanya sebagai the speaker of the company. Sekarang, mereka harus banyak mendengar,” ujar Junita. “Kita tidak bisa memaksa konsumen untuk mendengarkan apa yang mau kita bicarakan. Sebaliknya, kita yang harus mendengarkan apa yang konsumen katakan,” imbuhnya, bijak.

Lewat cara mendengarkan kemauan konsumen, perusahaan akan memperoleh insight yang benar dan memiliki relevansi yang kuat dengan konsumen. Sehingga kampanye komunikasi perusahaan pun akan didengarkan konsumen yang secara sukarela bakal memviralkannya secara gratis.

Langkah kedua adalah menggunakan influencer. Biarkan mereka bicara dengan gaya mereka kepada para pengikutnya. “Kalau kita yang mengarahkan dan followers tahu itu bukan gayanya, mereka tahu itu iklan dan mereka tidak mau melihat,” katanya. Hal ketiga, lakukan metode storytelling berkelanjutan yang sesuai dengan tema (isu), lengkap dengan kreasi konten, strategi eksekusi, dan riset selama setahun.

Namun bermedia sosial bagi perusahaan juga jangan sekadar mengandalkan tingginya volume followers, likers, atau pun frekuensi nge-share konten. “Karena tujuan akhir berkomunikasi di media sosial adalah untuk membangun kepercayaan, loyalitas, dan semakin banyak orang yang bersedia membeli produk kita,” kata Vishnu Mahmud, Director of Business Development Ogilvy PR.

Itulah pula yang menjadi keyakinan Ghandy I. Sastratenaya, Digital & Online Marketing Head Group Marketing Danamon. “Sedari awal mengembangkan media sosial, kami berprinsip tidak untuk mencari followers,” katanya. Tapi untuk menambah engagement juga bukan perkara mudah. Perlu konten yang kuat, menarik, memuat unsur interaksi dua arah, dan memastikan reputasi brand tetap terjaga.

Intinya, kata Ghandy, media sosial adalah kanal komunikasi baru bagi siapapun termasuk Danamon, untuk mendengar apa yang diinginkan oleh konsumen sehingga perusahaan bisa memahami kebutuhan mereka lebih baik. Jika sudah demikian, tampaknya praktisi PR boleh berharap kampanye PR mereka melalui media sosial bisa menuai sukses. Sukses secara substansi maupun finansial. Semua itu berawal dari hal sederhana: mendengarkan kemauan konsumen yang telah berubah perilakunya. asmono wikan