Hobi memamerkan harta yang marak ditampilkan di media sosial ternyata menimbulkan segudang dampak negatif. Dampak tersebut bukan saja dirasakan oleh individu dan lingkungan di sekitarnya, tapi juga reputasi organisasinya.
Aksi pamer harta atau flexing ibarat dua mata pisau, punya sisi negatif dan juga positif. Namun, dari semua narasumber yang kami wawancarai di edisi ini, mereka sepakat aksi tersebut lebih banyak memberikan dampak negatif ketimbang membawa manfaat. Drajat Tri Kartono, Sosiolog dari Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), misalnya. Ia mengatakan, alasan orang melakukan flexing adalah untuk mendapatkan pengakuan terhadap simbol-simbol atau yang biasa disebut modal simbolik.
Namun, alih-alih mendapat pengakuan, flexing justru menimbulkan prasangka dan kecurigaan di mata publik. Pria yang diwawancarai oleh PR INDONESIA secara virtual, Rabu (24/5/2023), ini berpendapat orang yang melakukan flexing justru akan menjadi public enemy ketika mengalami defisit modal simbolik. “Dampak yang ditimbulkan itu tidak hanya dirasakan oleh yang bersangkutan, tetapi juga orang-orang yang berada di sekitarnya," kata Drajat.
- BERITA TERKAIT
- Komunikasi Publik di Persimpangan: Tantangan dan Peluang Pemerintahan Baru
- Mengelola Komunikasi Publik IKN dalam Masa Transisi
- Komunikasi Publik IKN: Membangun Sinergi Semua "Stakeholder"
- Komunikasi Publik IKN: Tampak Belum Kompak
- Komunikasi Publik IKN: Mengukur Dampak Sosial dan Ekonomi