"Flexing", Gagapnya Komunikasi Internal, dan Peran PR Mengelola Reputasi

PRINDONESIA.CO | Jumat, 07/07/2023 | 1.543
Praktisi PR dituntut untuk mampu membuat pesan yang mengandung nilai-nilai positif dan berkelanjutan, etika, serta prinsip organisasi. Pesan itu juga harus disampaikan secara singkat, mudah diingat, dan dipahami. Lalu, mendistribusikannya melalui media komunikasi yang tepat.
Dok. Freepik.com

Aksi pamer harta di kalangan para pejabat dan keluarganya menyisakan masalah tersendiri terkait gagapnya pengelolaan risiko dan strategi komunikasi internal. Bagaimana public relations (PR) menyikapinya?

Fenomena pamer kekayaan atau flexing yang dilakukan oleh para pejabat publik dan keluarganya di media sosial, terkuaknya kasus manipulasi Laporan Harta Kekayaan Pejabat Negara (LHKPN), gratifikasi, hingga krisis reputasi merupakan imbas dari flexing bagi institusi publik. Menurut Moch. N. Kurniawan, pengampu Ilmu Komunikasi Swiss German University, menyisakan masalah tersendiri. Terutama, terkait gagapnya pengelolaan risiko dan strategi komunikasi internal selain menunjukkan gagalnya fungsi manajemen, kepatuhan, komunikasi, dan sumber daya manusia dalam memitigasi serta mendeteksi flexing sebagai perilaku berisiko tinggi.

Senada dengan Kurniawan. Ketua Public Affairs Forum Indonesia Agung Laksamana dalam keterangan tertulisnya kepada PR INDONESIA, Rabu (31/5/2023), mengatakan, kondisi ini mencerminkan kegagalan organisasi memenuhi ekspektasi publik dalam tiga dimensi, yakni environmental, social, dan governance (ESG). Pada akhirnya, berakibat pada reputasi, finansial, dan trust dari para investor.