Betapa sulitnya jika perbedaan karakter dan budaya tidak pernah didialogkan. Alih-alih berhasil membangun transformasi generasi, sebaliknya malah menghasilkan kegagalan pemahaman.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Begitulah yang terjadi jika generasi X gagal menyelami dunia generasi millennial (Gen Y) yang dicirikan dengan mudah bosan, berkarakter terlalu kreatif, sulit diatur, kurang santun, dan hanya mau melakukan apa yang diinginkan. Dialog yang sejajar menjadi solusi ideal dalam mengelola transformasi generasi, termasuk di dunia public relations (PR).
Hampir semua organisasi dan perusahaan kini dibanjiri karyawan-karyawan generasi millennials. Merekalah pemilik budaya digital. Dengan dan melalui gawai, mereka bekerja untuk memenuhi standar kinerja yang digariskan para bosnya di kantor, seraya membangun mimpi mereka sendiri. Jika tidak mimpi berkarier di dunia kerja yang sedang ditekuninya, ya mencoba mewujudkan sebuah startup company.
Kehadiran generasi digital di ranah praksis PR, mau tak mau memberi warna bagi strategi komunikasi yang dikelola perusahaan atau organisasi. Baik secara internal, mengelola komunikasi dengan karyawan millennials, maupun secara eksternal dengan publik atau millennial’s costumer.
Praktisi PR generasi millennials sendiri sadar betul mereka dituntut untuk menunjukkan watak kreatif yang dimilikinya oleh pimpinan di kantornya masing-masing. Agar hasrat generasi ini terhadap sesuatu yang kreatif dan inovatif selaras dengan target-target yang disasar perusahaan. Setidaknya begitulah pengakuan Gilang Sasmoyo, External Communication Danone Indonesia.
Menurutnya, praktisi PR generasi millennial di perusahaan, mau tidak mau harus inovatif mencari konten kreatif yang bisa masuk ke segala lini usia dan memiliki tendensi untuk disebarkan (shareable) oleh warganet. “Karena kebutuhan tersebut, generasi millennials di kantor kami dilatih berpikir secara innovative analitical. PR didorong untuk terus mencari inovasi-inovasi dari tools komunikasi yang terus berkembang,” ujarnya.
Sejauh yang ia amati, digital akan terus berkembang dekat dengan aktivitas kepiaran. “Tahun ini boleh jadi flow untuk media sosial hanya di Instagram dan kawan-kawannya. Ke depan, siapa yang akan tahu? Yang pasti, tools komunikasi yang bisa dijadikan opportunity bagi PR akan berkembang makin banyak. Strategi PR pun terus berubah semakin dinamis,” lanjutnya. “Isu yang dihadapi mungkin sama, tapi cara mengomunikasikannya berbeda sesuai perkembangan,” imbuh pehobi fotografi dan basket.
Humanisme
Meskipun sarat dengan serba digital, cara berkomunikasi oleh para millenials rupanya tak cukup sekadar menyandarkan saluran non tradisional itu. “Apakah cukup hanya berinteraksi melalui media sosial?” gugat Gilang seolah mencari jawaban sendiri. Butuh sentuhan humanis memang dalam berkomunikasi dalam zaman secanggih saat inipun.
Inilah yang juga disadari oleh Nike Yosephine, External Communication PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom). Boleh saja dunia beserta manusia di dalamnya akan sangat hi-tech. “Tapi sebagai PR, kita (generasi millennials) tetap harus menanamkan pentingnya sisi humanis dalam setiap membangun relasi. Biarlah teknologi memudahkan publik, bukan menjauhkan hubungan,” tegas Nike.
Baginya, generasi Y adalah generasi yang saat ini dianggap “seksi” bagi perusahaan. Mereka dinilai paling kreatif dan energik. Keberadaannya diharapkan dapat membawa darah segar mulai dari suasana kerja sampai perubahan sehingga perusahaan dapat berjalan sesuai “zaman now”, istilah kekinian anak zaman sekarang.
Tak heran jika perusahaan kerap melibatkan dan meminta usulan dari karyawan mereka yang termasuk ke dalam kategori millennials. Apalagi perusahaan perlu memahami karakteristik dan aktif membuat aktivasi kepiaran atau kampanye yang melibatkan generasi Y sebagai salah satu target audiens/calon konsumen potensial. Meski, keputusan akhir tak sepenuhnya menggunakan ide dari para millennial.
Spesialisasi
Dengan wataknya yang mudah berubah, sudah sepantasnya PR generasi millenials memiliki spesialisasi keahlian yang dibutuhkan dalam membantu perusahaannya menggapai bisnis yang gemilang. Ini karena era disruptif menguatkan posisi PR sebagai enabler dari bisnis. “PR harus menjadi support business bagi perusahaan atau klien,” ungkap Muhammad Gustiasa, Client Executive Edelman.
Untuk itu, kerja PR bukan lagi sekadar target mendapatkan eksposur di halaman depan media ternama, media engagement, atau media coverage. Aktivitas PR harus memberikan dampak secara keseluruhan mulai dari mengelola isu, krisis, hubungan internal dan eksternal, memastikan pesan tersampaikan, hingga adanya perubahan perilaku.
Itulah sebabnya, sulit rasanya untuk seorang PR millennials menjadi ahli di semua fungsi PR. Apalagi tantangan PR ke depan makin luas. Para penerus PR sebaiknya menentukan minatnya untuk menguasai fungsi PR tertentu mulai dari sekarang. Dengan begitu, mereka dapat sedari dini fokus membekali diri agar menjadi ahli PR di bidang sesuai minatnya. “Lebih baik spesifik saja. Mau ahli di mana. Karena kebutuhan PR itu beragam,” imbuhnya.
“Inside the Box”
Dalam pandangan Adita Irawati, VP Corporate Communication Telkomsel, yang sehari-hari bekerja dengan tim PR millennials di kantornya, generasi millennials merupakan generasi yang kreatif dan penuh semangat. Namun, pemahaman mereka tentang PR kadang masih terbatas pada yang tertulis di buku atau masih dipengaruhi oleh kesan PR yang serba indah dan glamor.
Padahal PR adalah dunia dinamis yang tidak hanya butuh pemahaman konten, tapi juga konteks secara keseluruhan. “Sejatinya dunia PR itu jauh lebih berat dari yang mereka bayangkan. Dibutuhkan pemahaman luar biasa terhadap PR itu sendiri dan ketangguhan fisik dan mental dari para pelakunya,” tutur Adita.
Baginya, bekerja dengan anak muda selalu menarik. Para PR millennial biasanya mempunyai ide-ide out of the box. Namun, dalam menyalurkan energi dan kreativitasnya harus diberi arahan agar tetap sesuai konteks. Saat eksekusi, misalnya, tak jarang mereka lupa ada koridor berupa etika kepiaran dan tatanan-tatanan lain yang berlaku di organisasi atau perusahaan yang harus diikuti. “Eksekusi harus tetap inside the box. Inilah yang harus dibangun terus dari PR muda,” katanya.
Adalah tugas praktisi PR seniorlah yang harus bisa menjadi mentor sekaligus coach tentang kehidupan PR yang sesungguhnya bagi para PR millennials. Sebab, kehidupan PR di tataran praktis itu sesungguhnya penuh tantangan dan ujian. Begitulah millennials. Gagasan besar dan kadang liar yang kerap mereka ungkap dengan segala watak galaunya, tetap butuh sentuhan generasi X untuk menjadikan gagasan-gagasan kreatif itu berujung pada hasil yang gemilang. Inilah bentuk solutif dialog antargenerasi yang produktif. asw
- BERITA TERKAIT
- Komunikasi Publik di Persimpangan: Tantangan dan Peluang Pemerintahan Baru
- Mengelola Komunikasi Publik IKN dalam Masa Transisi
- Komunikasi Publik IKN: Membangun Sinergi Semua "Stakeholder"
- Komunikasi Publik IKN: Tampak Belum Kompak
- Komunikasi Publik IKN: Mengukur Dampak Sosial dan Ekonomi