Apa Kabar Kode Etik PR?

PRINDONESIA.CO | Jumat, 22/12/2017 | 3.665
Profesi makin strategis, PR butuh payung koridor etik.
Freandy/PR INDONESIA

Kehadiran kode etik public relations (PR) di Indonesia yang bersifat nasional, butuh segera direalisasikan. Tantangan mewujudkan tentu tidak mudah.  Butuh dialog bersama dan komitmen besar mewujudkannya.

 

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Setiap profesi sepatutnya memiliki kode etik masing-masing yang bisa dipakai secara universal bagi siapapun yang menyandang profesi tersebut, tanpa pandang bulu jadi atau tidak jadi anggota asosiasi sebuah profesi. Inilah kekosongan yang kini sedang terjadi pada profesi kehumasan di Indonesia. Kode etik profesi public relations (PR) di negeri ini belum ada yang diberlakukan secara nasional.

Situasi ini jelas mencemaskan. Apalagi industri PR di tanah air sedang naik daun. Profesi PR makin banyak diincar para pencari kerja, baik lulusan komunikasi dan jurusan PR maupun sarjana dari beragam latar belakang keilmuan lainnya. Agensi-agensi PR asing pun semakin banyak membuka kantor di Indonesia. Lagi-lagi, mengindikasikan pasar industri PR di negeri ini semakin kinclong di masa mendatang.

Perkembangan industri kian luas inilah yang jelas-jelas membutuhkan payung koridor etik dan bahkan hukum. Persoalannya, menurut Elizabeth Goenawan Ananto, PR INDONESIA Gurus yang juga Presiden International Public Relations Association (IPRA) tahun 2010, PR masih menjadi profesi yang terbuka. Siapa saja bisa bekerja sebagai PR tanpa mengikuti pendidikan PR yang jelas dan menjadi anggota organisasi profesi yang diakui secara nasional. “PR masih berevolusi dan tidak jelas batasnya,” kata Ega, sapaan karibnya, menyayangkan.

Tanpa adanya kode etik, kondisi ini bakal makin memprihatinkan. Situasinya kian rentan di era persaingan bebas seperti sekarang. Sebab, praktisi PR akan semakin banyak berhadapan dengan kondisi yang bersinggungan dengan ketentuan dan berpotensi merusak reputasi profesi. Contoh, dorongan memelintir informasi (spin doctor), menggunakan jejaring organisasi PR sebagai jalur komunikasi massa, hingga memanfaatkan organisasi untuk kepentingan pribadi. Pada prinsipnya praktisi PR menjunjung tinggi nilai kebenaran.

Di mata Ketua Umum PERHUMAS Agung Laksamana, kode etik PR jelas penting. Itulah sebabnya, menunjuk PERHUMAS, organisasi yang dipimpinnya itu telah memiliki kode etik kehumasan. Dengan adanya kode etik ini, praktisi humas yang menjadi anggota PERHUMAS dapat menyesuaikan perilakunya seperti yang sudah diatur sesuai dengan etika yang baik. 

Kode etik kehumasan milik Perhumas ini telah mengatur secara lengkap mengenai komitmen pribadi, perilaku terhadap klien atau atasan, perilaku terhadap masyarakat dan media massa serta perilaku terhadap sejawat. Oleh sebab itu, apabila ada anggota PERHUMAS yang berperilaku merugikan profesinya, bahkan hingga dibawa ke ranah hukum, maka Dewan Kehormatan Perhumas akan meninjau kasus anggota tersebut atau yang melaporkan.

 

Dukungan Negara

Seberapa sulit kemudian kode etik PR yang bisa diakui secara nasional bakal mewujud? Bagi Suharjo Nugroho, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan PR Indonesia (APPRI), merealisasikan kode etik PR tidak perlu melalui proses panjang dan rumit. Hal ini dikarenakan sudah ada referensi sebagai acuan. Salah satunya, kode etik yang umum dipakai oleh praktisi PR di luar negeri dan direkomendasikan kepada praktisi PR di seluruh dunia, seperti Stockholm Accords dan International Public Relations Association (IPRA). Serta, kode etik yang sudah dirumuskan oleh masing-masing organisasi PR di tanah air.

“Tinggal kita semua—seluruh stakeholder PR, termasuk PR gurus dan organisasi—duduk bareng. Agar semua pihak punya peran dalam merumuskan, melokalisasi sesuai budaya Indonesia dan menyepakatinya,” kata Managing Director Imogen PR ini seraya merujuk salah satu poin yang harus ditambahkan, yakni tentang hoaks dan fake news.

Sementara untuk meminimalisasi ego sektoral atau organisasi, perlu ada peran pemerintah sebagai pihak yang memayungi dan netral. Pemerintah yang dimaksud bisa dari Kementerian Komunikasi dan Informatika atau Kantor Staf Presiden Deputi IV bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi. Keberadaan mereka sekaligus bertujuan agar kode etik tidak hanya disepakati oleh seluruh stakeholder PR, tapi juga diakui oleh negara. Asmono Wikan