Kode etik profesi PR yang diakui secara nasional mutlak diperlukan. Namun untuk benar-benar ada dibutuhkan proses dan perjalanan yang panjang.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Kode etik merupakan atribut suatu profesi dan perilaku praktisi dalam memberikan jasanya kepada publik. Aturan ini akan berpengaruh terhadap cakupan, kualitas kerja, sikap perilaku, dan tanggung jawab sosial praktisi kepada masyarakat. “Sehingga dalam menjalankan profesinya, bukan semata-mata dilatarbelakangi oleh adanya kekuatan praktisi, menekan atau memaksakan kehendaknya kepada klien,” kata Elizabeth Goenawan Ananto, PR INDONESIA Gurus yang juga Presiden International Public Relations Association (IPRA) tahun 2010.
Persoalannya, sambung perempuan yang ditemui PR INDONESIA di Jakarta, Kamis (9/11/2017), PR masih menjadi profesi yang terbuka. Siapa saja bisa bekerja sebagai PR tanpa mengikuti pendidikan PR yang jelas dan menjadi anggota organisasi profesi yang diakui secara nasional. “PR masih berevolusi dan tidak jelas batasnya,” kata Ega, sapaan karibnya, menyayangkan.
Tanpa adanya kode etik, kondisi ini bakal makin memprihatinkan. Situasinya kian rentan di era persaingan bebas seperti sekarang. Sebab, praktisi PR akan semakin banyak berhadapan dengan kondisi yang bersinggungan dengan ketentuan dan berpotensi merusak reputasi profesi. Contoh, dorongan memelintir informasi (spin doctor), menggunakan jejaring organisasi PR sebagai jalur komunikasi massa, memanfaatkan organisasi untuk kepentingan pribadi, melakukan upaya provokatif seperti hasutan dan ujaran kebencian, hingga menyebarkan berita yang tidak benar. Padahal, pada prinsipnya praktisi PR menjunjung tinggi nilai kebenaran. “Dia boleh salah, tapi tetap tidak boleh berbohong,” ujarnya tegas.
Tertibkan
Untuk itu, menurut Ega, perlu jalan panjang untuk dapat benar-benar merealisasikan kode etik profesi PR yang diakui dan berlaku secara nasional. Hal ini dikarenakan harus adanya pembenahan mulai dari akar dan dilakukan secara menyeluruh.
Pertama, tertibkan dulu profesi PR, tentukan persyaratan akademik dan nonakademik praktisi PR, performa standar PR, siapa yang mempunyai legalitas atau kriteria sebagai PR, hingga lembaga yang berwenang mengesahkan profesi ini secara hukum. Kedua, buat konsorsium untuk menyamakan visi misi profesi PR dari tiap organisasi PR yang kemudian disahkan dalam bentuk UU Kehumasan Indonesia. Ketiga, sosialisasikan kode etik kepada publik sehingga pengguna jasa memahami ruang lingkup dan pekerjaan PR. “Memang panjang, tapi perlu dilakukan untuk menertibkan profesi PR serta meminimalisasi praktik PR yang tidak sesuai dengan standar profesi,” katanya.
Selain itu, Ega juga mempertimbangkan perlu adanya Dewan Kehumasan. Dewan ini merupakan konsorsium dari organisasi profesi sejenis yang mempunyai kekuatan hukum selain moral untuk menertibkan praktik PR di Indonesia. “Di dunia internasional, sebut saja IPRA, kode etik benar-benar dijalankan,” katanya. Jika ada yang terbukti melanggar, akan mendapat peringatan secara tertulis, sanksi penundaan hingga pemberhentian sebagai anggota. Sementara di Indonesia, hingga saat ini belum pernah ia menemukan ada kasus pelanggaran kode etik PR yang dibahas secara serius.
Adapun isi dari kode etik, Ega melanjutkan, sebaiknya memuat klausul yang mengatur tentang standar pekerjaan PR, perilaku terhadap masyarakat luas atau rekan seprofesi, tanggung jawab terhadap klien dan atasan, serta integritas praktisi. Hal ini penting karena PR menjunjung tinggi adanya dialog, transparansi informasi, kerahasiaan, akurasi berita, remunerasi yang jelas, menekan terjadinya resolusi konflik, persaingan kerja, dan adab berhubungan dengan sejawat. rtn
- BERITA TERKAIT
- Komunikasi Publik di Persimpangan: Tantangan dan Peluang Pemerintahan Baru
- Mengelola Komunikasi Publik IKN dalam Masa Transisi
- Komunikasi Publik IKN: Membangun Sinergi Semua "Stakeholder"
- Komunikasi Publik IKN: Tampak Belum Kompak
- Komunikasi Publik IKN: Mengukur Dampak Sosial dan Ekonomi