Setiap praktisi PR sepatutnya terikat pada kode etik profesi tersebut. Mengisi kekosongan belum adanya kode etik PR secara nasional, PERHUMAS menawarkan kode etik bagi anggotanya untuk diadopsi.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Profesi public relations (PR), kini tengah menjadi sorotan. Pasalnya, di era disrupsi dan terjangan banjir hoaks dan berita palsu (fake news) yang mendompleng kemajuan teknologi informasi, membuat peran PR justru semakin penting. Kiprah PR dalam mengklarifikasi, menjawab, menjernihkan, dan menangani ruwetnya informasi palsu yang menyerang sebuah perusahaan atau figur sangat dibutuhkan.
Sayangnya, PR merupakan salah satu profesi yang belum memiliki kode etik secara nasional yang baku. Belum ada satu pun kode etik PR yang diakui oleh semua pekerja PR yang ada dan berlaku secara umum. Pada galibnya, kode etik profesi yang sudah ada, baru dibuat oleh masing-masing perusahaan, atau pun organisasi-organisasi PR yang ada. Misalnya kode etik PERHUMAS, IPRA, FH BUMN, dan sebagainya.
Ketua Umum PERHUMAS Agung Laksamana kepada PR INDONESIA melalui surel, Jumat (10/11/2017), membeberkan, bahwa Perhumas sendiri telah memiliki kode etik kehumasan. Dengan adanya kode etik ini, praktisi humas yang menjadi anggota PERHUMAS dapat menyesuaikan perilakunya seperti yang sudah diatur sesuai dengan etika yang baik.
Kode etik kehumasan milik PERHUMAS ini telah mengatur secara lengkap mengenai komitmen pribadi, perilaku terhadap klien atau atasan, perilaku terhadap masyarakat, dan media massa serta perilaku terhadap sejawat. Berbekal kode etik tersebut, maka sebagai pionir organisasi kehumasan, PERHUMAS sudah meletakkan pondasi kode etik profesi yang dibutuhan insan PR.
Oleh sebab itu, apabila ada anggota PERHUMAS yang berperilaku merugikan profesinya, bahkan hingga dibawa ke ranah hukum, maka Dewan Kehormatan Perhumas akan meninjau kasus anggota tersebut atau yang melaporkan. “Sama dengan profesi dokter, jika dianggap melanggar kode etik, maka dia akan diperiksa oleh majelis kode etik kedokteran Indonesia,” papar Agung menggambarkan.
Butuh Edukasi
Meskipun demikian, menurut Agung, bisa saja organisasi serumpun lainnya juga menerbitkan kode etik yang berbeda. “Seperti Pers juga demikian, ada yang PWI, AJI, dan lainnya. Mereka memiliki kode etik masing-masing,” paparnya menambahkan. Beda antara pers dengan humas hanyalah karena pers memiliki Dewan Pers yang diangkat langsung oleh Presiden sehingga bisa menjadi naungan yang resmi, sedangkan kalangan humas tidak ada.
Setidaknya, menurut Agung, jika nanti hadirnya sebuah kode etik kehumasan bersama yang berlaku secara resmi telah menjadi urgensi nasional, maka kode etik PERHUMAS tersebut bisa dijadikan acuan profesi kehumasan.
Adalah hal yang sangat menarik jika industri kehumasan bisa memiliki Dewan Kehumasan seperti halnya Dewan Pers di atas. Wacana tersebut menurut Agung patut dipertimbangkan. “Tantangannya ini memerlukan keterlibatan semua stakeholders dan dukungan dari Presiden seperti halnya Dewan Pers,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa yang paling penting adalah agar praktisi PR memahami fungsi dari kode etik profesi itu sendiri. Perlu kesadaran kuat bahwa saat bergabung dengan sebuah organisasi profesi, praktisi PR terikat dalam kode etik profesi. “Hal ini butuh edukasi dan awareness. Sebagai praktisi PR mereka bisa aplikaskan kode etik ini dalam praktik profesi sehari hari,” pungkas Agung mengingatkan. cak
- BERITA TERKAIT
- Komunikasi Publik di Persimpangan: Tantangan dan Peluang Pemerintahan Baru
- Mengelola Komunikasi Publik IKN dalam Masa Transisi
- Komunikasi Publik IKN: Membangun Sinergi Semua "Stakeholder"
- Komunikasi Publik IKN: Tampak Belum Kompak
- Komunikasi Publik IKN: Mengukur Dampak Sosial dan Ekonomi