PR INDONESIA Gurus Membaca Tren 2018

PRINDONESIA.CO | Selasa, 30/01/2018 | 2.883
Bangun "engagement" yang melibatkan keterlibatan karyawan dan banyak mendengar.
Bey/PR Indonesia

Kemajuan pesat dunia public relations (PR) di Indonesia dalam lima tahun belakangan membuat PR kini menjadi salah satu sektor industri yang sedang bersinar. Bahkan, barangkali, bisa jadi mulai melewati masa-masa keemasan industri periklanan.

 

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Tepat seperti yang pernah ditulis Al Ries dan Laura Ries 15 tahun silam, “The Fall of Advertising and The Rise of PR”. Prediksi suami isteri itu kini ada benarnya di Indonesia. Lepas dari masih adanya kesejangan pemahaman dan kompetensi antarpraktisi PR di Tanah Air, namun geliat dan dinamika industri PR nasional kian memperlihatkan bentuknya.

Lihatlah dari membanjirnya mahasiswa-mahasiswa PR di Jurusan Ilmu Komunikasi kampus-kampus se-Indonesia, puluhan bahkan ratusan seminar dan workshop tentang PR sepanjang 2017, hingga belasan event penghargaan terkait kepiaran oleh bebagai organisasi PR dan media. Semua itu menunjukkan tren bahwa industri PR di Indonesia sedang melaju pesat.

Kemajuan pesat industri PR tentu bukan lantas tidak meninggalkan pekerjaan rumah yang harus dituntaskan  secara bertahap. Jelas ada. Berbagai pekerjaan rumah inilah yang dicermati secara khusus oleh empat PR INDONESIA Gurus: Elizabeth Goenawan Ananto (Ega), Ida Sudoyo, Maria Wongsonagoro, dan Magdalena Wenas. Mereka memberi sejumlah catatan khusus kepada lebih dari 70 praktisi PR yang hadir dalam ajang PR INDONESIA Outlook 2018, yang diselenggarakan PR INDONESIA di Jakarta, Selasa (5/12/2017).

 

Ibarat Pohon

Ega, sapaan akrab Elizabeth Goenawan Ananto, hadir dengan membawa catatan mengenai pentingnya komunikasi internal yang ia ibaratkan sebagai pohon. Sering kali PR bicara soal pentingnya mengelola digital untuk menjaga reputasi dan mendapatkan trust dari publik. Namun melupakan pohon PR yang berupa internal communication. “Bagaimana kita mau bicara komunikasi ke luar kalau orang-orang di dalam tidak kompak dan tidak puas dengan manajemen?” katanya seraya bertanya.

Sayangnya, sebagian besar korporasi lebih mengutamakan komunikasi eksternal. Berbanding dengan hanya sedikit perhatian terhadap upaya membangun hubungan ke dalam. Padahal membangun reputasi dan trust itu dimulai dari dalam. “Kita selalu bicara risiko berkaitan dengan keuangan. Bayangkan kalau reputasi sudah turun, banyak sekali opportunity cost yang hilang,” ujar Presiden International Public Relations Associations (IPRA) tahun 2010 ini. 

Untuk itu wajib hukumnya perusahaan membangun engagement atau keterlibatan dengan karyawan. Dalam pelaksanaannya, membangun hubungan ke dalam juga memerlukan tahapan dan waktu.

Ketika perusahaan menunjukkan komitmen dan kepeduliannya, akan tampak adanya perubahan perilaku, cara berkomunikasi, pemahaman, dan afeksi dari karyawan. Yang pasti, inisiatif perubahan manajemen harus dimulai dari atas (pimpinan). “Teori mengatakan, kita harus bottom up. Tapi praktiknya di lapangan, top down lebih efektif dari kapan pun,” katanya. “Kalau CEO-nya terbuka, PR-nya pasti bagus,” tegas Ega.

 

Ketaatan Naluriah

Dalam sudut pandang Ida Sudoyo, persoalan etika juga masih menggayuti perjalanan industri PR. Kode etik public relations (PR) pada dasarnya adalah apa yang secara moril dirasakan benar atau salah. Kelihatannya sederhana. Tapi di era sekarang menjadi hal yang pelik, tak jarang dilematis.

Ida melanjutkan, kode etik merupakan ketaatan naluriah bukan karena paksaan. Yang bersangkutan secara sadar memahami apabila melakukan hal yang melanggar akan memberikan dampak buruk terhadap profesinya. 

Pelanggaran kode etik memang sulit dikenai sanksi, kecuali menyalahi hukum secara pidana. “Tapi pepatah mengatakan, menjalankan kode etik is a good business. Jangan kompromi soal salah dan benar,” katanya. Apalagi di PR, tanggung jawab mengenai apa yang benar dan salah menjadi tanggung jawab individu, bukan perusahaan atau bos.

Keberadaan kode etik menjadi penting karena acap kali PR ada di dalam kondisi dilematis. “Contoh, apakah kita mau atau harus bohong demi klien atau bos? Menyembunyikan data atau fakta mengenai suatu situasi yang berbahaya atau ilegal? memberi informasi yang jujur atau benar saat krisis?” tanya Ida. Meski tampaknya berat,  kode etik tidak selalu hitam dan putih. “Bisa fleksibel asalkan kita memegang nilai-nilai profesionalisme: kejujuran dan integritas,” ujar founder Ida Sudoyo & Associate itu.

 

Hulu dan Hilir

Secara khusus, dalam menyongsong tahun 2018, Maria Wongsonagoro memaparkan beberapa kiatnya. Antara lain,  perlunya pemahaman yang lebih mendalam tentang “Public Relations as a strategic management function” terutama di tingkat manajemen dan pemimpin perusahaan, BUMN, pemerintah lembaga maupun institusi.

Kedua, perlunya pengadopsian dan pelaksanaan sistem komunikasi, unit komunikasi, dan pengelola yang kuat di setiap perusahaan atau institusi. Untuk soal inilah, Maria menyesalkan kenyataaan bahwa PR kadang-kadang masih digabung bersama departemen HR, legal, bahkan bagian umum di banyak perusahaan.

Dan ketiga, pembuatan rencana strategi komunikasi untuk menunjang rencana strategi bisnis atau strategi lembaga. Maria meyakini bahwa semua lembaga dan perusahaan mempunyai rencana strategis lima tahunan. “Nah pertanyaannya, apakah itu sudah ditunjang dengan rencana strategis komunikasi? Itu adalah salah satu kekuatan yang bisa dimanfaatkan untuk membangun image, memenangkan persaingan, maupun menghadapi tantangan di tahun depan,” jelasnya mempertanyakan.

 

Siber PR

Magdalena Wenas sendiri lebih banyak menyoroti soal relevaksi berkomunikasi dan praksis cyber PR. Untuk menjadi relevan dengan perubahan yang terjadi pada audiens sekarang, menurutnya seorang PR harus melihat perubahan gaya hidup yang terjadi. Apa saja perubahan yang terjadi?  “Kalau PR yang dulu-dulu, tradisional, semua bicara. Namun sekarang kita harus lebih banyak melihat, mendengar, tersenyum. Ini yang harus kita kuasai.

Menyinggung tentang pembangunan reputasi di dunia siber, ia melihat timbulnya ketidaksesuaian reputasi online bukanlah permasalahan teknologi semata, tetapi kembali kepada permasalahan manusiawi (human problem). “Reputasi on-line berkaitan erat dengan karakter organisasi. Untuk menjaganya maka kita harus menjaga search engine kita agar selalu positif,” sarannya.

Sehingga jika ada reputasi atau karakter negatif yang muncul, harus didorong dengan segala hal yang positif (good thing) sehingga search engine kita tetap aman. Ia mengingatkan agar praktisi PR tidak perlu menggunakan semua platform sosial media yang ada. “Sesuaikan saja dengan kebutuhan organisasi, nature of business, dan selalu berorientasi pada konsumen,” pesannya.

Menurutnya, saat ini praktik cyber PR belum banyak yang berhasil karena yang dilakukan masih dalam tataran taktik. Sementara penerapan strateginya belum dikelola baik.  Oleh sebab itu, perubahan mindset sangat dibutuhkan dalam membangun reputasi di dunia siber. Pemikiran old school yang memberikan kenyamanan rutinitas sehari-hari harus diubah menjadi new school yang berani berpijak, mendobrak, dan berdiri di landasan baru (new ground). (asmono wikan)