Ega: "Bangun Reputasi dari Dalam"

PRINDONESIA.CO | Selasa, 30/01/2018 | 2.048
“Teknologi itu alat, tapi human side of development is a must."
Bey/PR Indonesia

Sering kali public relations (PR) bicara soal pentingnya mengelola digital untuk menjaga reputasi dan mendapatkan trust dari publik. Mereka lupa pohon PR itu adanya di internal communication.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Begitulah Elizabeth Goenawan Ananto, founder EGA briefings, mengingatkan kembali para praktisi PR yang hadir di acara PR INDONESIA Outlook 2018 (PRIO) di Jakarta, Selasa (5/12/2017). “Teknologi itu alat, tapi human side of development is a must. Di situ fondasinya,” katanya, tegas. “Bagaimana kita mau bicara komunikasi ke luar kalau orang-orang di dalam tidak kompak dan tidak puas dengan manajemen?” katanya seraya bertanya.

Apalagi, katanya, menjaga reputasi, mendapatkan kepercayaan publik dan loyalitas karyawan kian terasa sulit karena media sosial telah mengubah lanskap sosial. Ketidakpuasan karyawan dan rahasia perusahaan bisa tersebar dan menjadi viral sejak munculnya fenomena baru ketika semua orang bisa jadi wartawan (citizen journalism). “Kita tidak bisa lagi ‘bebas’ bicara dengan karyawan karena mereka akan bicara kepada rekan kerjanya, teman, hingga dunia. Di sisi lain, kita dituntut untuk terbuka,” ujar perempuan yang akrab disapa Ega itu. 

Sayangnya, sebagian besar korporasi lebih mengutamakan komunikasi eksternal. Berbanding dengan hanya sedikit perhatian terhadap upaya membangun hubungan ke dalam. Padahal membangun reputasi dan trust itu dimulai dari dalam. “Kita selalu bicara risiko berkaitan dengan keuangan. Bayangkan kalau reputasi sudah turun, banyak sekali opportunity cost yang hilang,” ujar Presiden International Public Relations Associations (IPRA) tahun 2010 ini. 

Selain itu, korporasi umumnya lebih mengandalkan bagian keuangan, pemasaran, dan produksi. Kondisi tidak adanya hubungan harmonis antara perusahaan dengan internal berdampak karyawan ‘baper’ (terbawa perasaan). Mereka merasa tidak terlibat atau dilibatkan dalam aktivitas perusahaan. Akhirnya, muncul yang namanya demotivasi. “Ke kantor sekadar bekerja, yang penting gajian,” katanya. 

 

Keterlibatan

Untuk itu wajib hukumnya bagi perusahaan membangun engagement atau keterlibatan dengan karyawan. Dalam pelaksanaannya, membangun hubungan ke dalam juga memerlukan tahapan dan waktu. Dimulai dari “Saya paham, saya mendukung, saya terlibat, tapi belum tentu berkomitmen”. Perubahan ini akan tumbuh signifikan apabila perusahaan sungguh-sungguh memerhatikan karyawannya, sama seperti ketika perusahaan membangun reputasi dan trust ke luar. Kesungguhan itu akan dirasakan karyawan apabila ada keterbukaan, transparansi, integritas, kepercayaan, hingga empati dari perusahaan, melibatkan partisipasi, pemberdayaan, dukungan, dan adil  kepada karyawan.

Ketika perusahaan menunjukkan komitmen dan kepeduliannya, akan tampak adanya perubahan perilaku, cara berkomunikasi, pemahaman, dan afeksi dari karyawan. “Mereka tidak lagi asal bicara tentang perusahaan, mau memahami kondisi perusahaan,” ujarnya.

Ya, perubahan menjadi satu-satunya cara untuk mengubah persepsi. Yang pasti, Ega menggarisbawahi, inisiatif perubahan manajemen harus dimulai dari atas (pimpinan). “Teori mengatakan, kita harus bottom up. Tapi praktiknya di lapangan, top down lebih efektif dari kapan pun,” katanya. “Kalau CEO-nya terbuka, PR-nya pasti bagus,” imbuhnya menarik kesimpulan. rtn