Gaya kerja PR masa lalu (old school) sudah sepantasnya ditinggalkan, diganti pendekatan new school sebagai respons terhadap berbagai perubahan yang terjadi.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - “PR is changing: being relevant to understand audience (not only your stakeholders).” Ungkapan ini langsung diketengahkan oleh PR INDONESIA Gurus Magdalena Wenas, saat membuka sesi presentasinya di PR INDONESIA Outlook 2018 di Jakarta, Selasa (5/12/2017). Untuk menjadi relevan dengan perubahan yang terjadi pada audience sekarang, menurutnya seorang PR harus melihat perubahan gaya hidup yang terjadi.
Apa saja perubahan yang terjadi? “Kalau PR yang dulu-dulu, tradisional, semua bicara. Namun sekarang kita harus lebih banyak melihat, mendengar, tersenyum. Ini yang harus kita kuasai. Dengan smiling face itu artinya kita mengendalikan emosi PR kita di 2018 dan seterusnya,” ujar Magda. Jadi kalau stamina PR zaman dahulu dihabiskan untuk banyak bicara, sekarang harus dihentikan. Kehadiran dunia sibernetika sangat membantu dunia PR asalkan bisa dikelola dengan baik.
Mengulang pendapatnya sendiri yang disampaikan pada forum Jambore PR INDONESIA (Jampiro #2) di Jogjakarta, 4 – 6 Oktober 2016, Magda menuturkan, yang akan tetap eksis adalah mereka yang mampu beradaptasi dengan perubahan. Dan bukan mereka yang paling kuat maupun paling intelek. Mereka yang mampu bertahan juga adalah mereka yang cerdas dan dewasa, sehingga mampu membentuk reputasi dengan etika dan budaya profesional.
Itulah sebabnya, “Kita harus sudah berubah, dari PR tradisional ke PR yang nontradisional. Dari PR old school ke PR new school. Ini karena zaman juga berubah. Di era disrupsi ini, menuntut PR harus semakin inovatif mengelola perubahan-perubahan yang terjadi,” tegas Presiden PR Society Indonesia itu. Komunikasi di era baru sekarang fokus pada sisi kemampuan untuk mendengarkan (listening). Mendengar untuk menciptakan dialog (conversation) antara perusahaan dengan audiensnya.
Mengutip Alfin Toffler, Magda mengungkapkan, orang yang paling tidak literate adalah bukan mereka yang tidak pernah membaca dan menulis. Melainkan yang tidak belajar (cannot learn), tidak mempelajari (unlearn), dan belajar kembali (relearn).
Perubahan Pola Pikir
Menyinggung tentang pembangunan reputasi di dunia siber, ia melihat timbulnya ketidaksesuaian reputasi online bukanlah permasalahan teknologi semata, tetapi kembali kepada permasalahan manusiawi (human problem). “Reputasi on-line berkaitan erat dengan karakter organisasi. Untuk menjaganya maka kita harus menjaga search engine kita agar selalu positif,” sarannya.
Sehingga jika ada reputasi atau karakter negatif yang muncul, harus didorong dengan segala hal yang positif (good thing) sehingga search engine kita tetap aman. Ia mengingatkan agar praktisi PR tidak perlu menggunakan semua platform sosial media yang ada. “Sesuaikan saja dengan kebutuhan organisasi, nature of business, dan selalu berorientasi pada konsumen,” pesannya.
Menurutnya, saat ini praktik cyber PR belum banyak yang berhasil karena yang dilakukan masih dalam tataran taktik. Sementara penerapan strateginya belum dikelola baik. Oleh sebab itu, perubahan mindset sangat dibutuhkan dalam membangun reputasi di dunia siber. Pemikiran old school yang memberikan kenyamanan rutinitas sehari-hari harus diubah menjadi new school yang berani berpijak, mendobrak, dan berdiri di landasan baru (new ground).
Selanjutnya, perspektif dari darat harus diubah menjadi perspektif dari atas (helicopter perspective). Media literasi harus diubah menjadi digital literasi. “Bukan generation gap yang harus kita ributkan, melainkan kesenjangan komunikasi yang harus kita hidupkan,” saran Magda. PR harus mau terus mencari, mencari, dan mencari di search engine untuk mebangun kapasitas dan ketrampilannya dalam membaca sibernetika. (cak/asw)
- BERITA TERKAIT
- Komunikasi Publik di Persimpangan: Tantangan dan Peluang Pemerintahan Baru
- Mengelola Komunikasi Publik IKN dalam Masa Transisi
- Komunikasi Publik IKN: Membangun Sinergi Semua "Stakeholder"
- Komunikasi Publik IKN: Tampak Belum Kompak
- Komunikasi Publik IKN: Mengukur Dampak Sosial dan Ekonomi