Ditengah memanasnya suhu politik jelang Pilpres 2019, PR memiliki andil besar sebagai komunikator yang mampu menyukseskan pemilu, serta mendorong angka partisipasi politik.
SEMARANG, PRINDONESIA.CO – Ismail Cawidu, Tenaga Ahli Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) hadir sebagai salah satu pembicara dalam plenary session Jambore PR INDONESIA (JAMPIRO) #4 di Semarang, Rabu (7/11/2018). Sesi ini merupakan bagian dari rangkaian acara jelang malam puncak apresiasi tertinggi bagi para pelaku PR se-tanah air.
Siang itu, Ismail mengajak para peserta workshop untuk menelusuri nilai dasar PR di Indonesia, sekaligus menjabarkan undang-undang yang mengatur tentang nilai-nilai serta batasan-batasan public relations (PR).
Lantas, dimana letak keterkaitan antara PR dengan pelaksanaan pemilu? PR merupakan salah satu bentuk kedaulatan komunikasi yang sejatinya telah terangkum dalam pasal 28F UUD Tahun 1945. Maka, setiap praktisi PR diharapkan turut berkontribusi mendudukkan pokok permasalahan yang memicu keriuhan di masyarakat. “Momentum tahun politik ini bisa menjadi peluang kerja bagi PR. Saya berharap praktisi PR turut andil, tentu sesuai dengan porsinya masing-masing,” katanya.
Ismail merangkum setidaknya ada enam tantangan yang harus dihadapi PR di tahun politik. Antara lain:
Koordinasi Lintas Lembaga
Sejatinya PR akan berhadapan dengan pola koordinasi lintas lembaga yang kurang baik. Seperti pada saat pemerintah menaikkan pajak STNK dan BPKB sehingga menimbulkan banyak miskoordinasi antar lembaga pemerintah. “Waktu itu terasa sekali ketika kemeterian keuangan dan kepolisian berdebat di ruang publik. Untuk PR ini tidak bagus,” ungkap Ismail.
Pengelolaan Informasi Publik
Karena setiap lembaga maupun korporasi selalu menghendaki munculnya narasi tunggal atas kebijakan yang telah mereka buat. Namun, seringkali kebijakan yang dikeluarkan dianggap belum maksimal, terutama yang terjadi di daerah. “Harapannya ke depan ada Instruksi Presiden yang mengatur tentang kebijakan pengelolaan informasi publik,” katanya.
Independensi Media Massa
Media massa saat ini mulai diragukan independensinya. Karena setiap narasi yang dibangun oleh media massa menjadi “diktator” di media yang bersangkutan. Untuk itu, PR harus pandai memilah setiap informasi yang diproduksi oleh media.
Politik Identitas
Maraknya pembenturan isu agama dan negara akhir-akhir ini kian menghawatirkan. Contoh, terjadinya pembakaran bendera saat peringatan Hari Santri di Garut, Jawa Barat. Tak lain, gagasan yang dikembangkan dimasyarakat adalah bentuk politik identitas. PR harus jeli dalam mengambil peran, untuk menjembatani berbagai persoalan yang mengemuka.
Hoaks
Tak dapat dipungkiri, masifnya penggunaan media sosial menjadi peyumbang terbesar banjir hoaks dan fake news. Otomatis, peran opini jagat mayalah yang menambah dalam jurang antara dua kubu yang saling berseberangan atas sebuah isu politik (polarisasi politik). Hingga muncul berbagai istilah seperti, “gorengan” yang digunakan memanaskan isu-isu politik.
Pemanfaatan Teknologi
Perkembangan teknologi informasi nyatanya tak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat. Terlebih, kebiasaan masyarakat Indonesia yang konsumtif dalam menggunakan media sosial yang umumnya hanya sekadar memperbarui status terkini “Pengguna internet sekarang mencapai 143 juta, tapi apakah penggunaannya untuk persoalan yang produktif?” ujar Ismail seraya bertanya. (ali)
- BERITA TERKAIT
- Kaleidoskop PR INDONESIA 2024
- Peran PR Membangun Komunikasi Publik di Era Pemerintahan Baru
- Mengintip Gaya Komunikasi Publik Pemerintahan Prabowo – Gibran
- Komunikasi Publik Era Jokowi: Gaya Berbeda dengan Banyak Catatan
- Komunikasi Publik di Persimpangan: Tantangan dan Peluang Pemerintahan Baru