Langkah memetakan pemangku kepentingan tidak bisa dianggap enteng. Salah penempatan bakal berdampak pada kesalahan penanganan saat terjadi krisis.
SEMARANG, PRINDONESIA.CO – Menurut Managing Director and President Kiroyan Partners Anton Rizki, stakeholders dapat diartikan sebagai orang yang paling pertama menerima dampak atas kebijakan yang telah ditetapkan perusahaan.
Penting untuk diperhatikan apabila PR memetakan stakeholders terlalu luas, maka semua orang bisa menjadi stakeholders. Begitu pula sebaliknya, jika terlalu sempit, dapat menghasilkan stakeholders yang memiliki kelangsungan hidup berkelanjutan. Fakta inilah yang mengemuka di workshop Jambore PR INDONESIA (JAMPIRO) #4 di Semarang, Kamis (8/11/2018).
Agar tidak salah langkah dalam mengambil keputusan, PR perlu membuat pemetaan stakeholders. Langkah ini juga penting untuk mempermudah dan memperlancar tugas public relations (PR) saat menyusun strategi komunikasi. Untuk itu, Anton memberikan tiga catatan penting yang harus menjadi perhatian PR saat melakukan pemetaan stakeholder.
Pertama, power atau kemampuan stakeholders dalam mempengaruhi perusahaan. Kedua, urgency, yakni seberapa besar dampak yang akan diperoleh atas kebijakan perusahaan. Terakhir, legitimacy terkait seberapa jauh stakeholders mau menerima dan mengakui kebijakan perusahaan. “Stakeholders utama ialah yang punya tiga hal tadi sekaligus,” ujar pria kelahiran Teheran, Iran itu.
Dengan memahami tiga poin tadi, maka kerja PR dalam memetakan stakeholders yang relevan dan memiliki pengaruh besar bagi perusahaan semakin mudah. Lainnya tak kalah penting, memahami isu-isu yang dianggap penting bagi mereka. Tujuannya untuk menghindari pembuatan keputusan yang tidak didasari dengan pertimbangan strategis.
Bias
Adapun “penyakit” PR saat memetakan stakholders adalah rentan terjangkit bias. Anton membagi fenomena bias ke dalam empat jenis. Pertama, elite bias. Biasanya terjadi ketika praktisi PR menentukan status stakeholders berdasarkan jabatan strategis yang diemban seseorang. “Menganggap seorang elite kelompok sudah mewakili semua anggotanya, padahal belum tentu benar,” katanya.
Kedua, power bias. Kondisi ini terjadi saat seseorang dalam kelompok terlanjur dimitoskan sebagai orang yang memiliki power sangat kuat. Padahal di balik itu ada orang marjinal yang punya power tak kalah kuat dan lebih layak dijadikan stakeholder, hanya ia tidak mempunyai akses untuk berbicara dan mengekspresikan diri.
Ketiga, interest bias. Yakni, ketika ada seseorang yang menjadi pusat perhatian seluruh organisasi, maka hal itu berpotensi menimbulkan bias dalam proses pemetaan stakeholders. “Kita harus bisa keluar dari bias orang-orang yang kita hadapi,” tuturnya.
Keempat, purpose bias yang dapat membuat PR cenderung memberikan perhatian lebih kepada pihak yang memiliki andil besar di belakang perusahaan. Anton tak memungkiri setiap praktisi PR berpotensi mengalami bias-bias tersebut, pun termasuk dirinya yang sudah berpengalaman dalam membuat stakeholders mapping. “Intinya, kita harus berlatih secara terus menerus agar tidak terjebak ke dalam bias,” katanya seraya berpesan. (ali)
- BERITA TERKAIT
- Peran PR Membangun Komunikasi Publik di Era Pemerintahan Baru
- Mengintip Gaya Komunikasi Publik Pemerintahan Prabowo – Gibran
- Komunikasi Publik Era Jokowi: Gaya Berbeda dengan Banyak Catatan
- Komunikasi Publik di Persimpangan: Tantangan dan Peluang Pemerintahan Baru
- Mengelola Komunikasi Publik IKN dalam Masa Transisi