Teknologi Hanyalah Penunjang

PRINDONESIA.CO | Senin, 08/04/2019 | 3.795
Nia Sarinastiti, Marketing and Communications Director Accenture Indonesia: “Pemerintah memang menjalankan Revolusi Industri 4.0, tapi masyarakat tidak diikutsertakan, kecuali sebagai konsumen. Itu yang jadi masalah.
Dok. PR INDONESIA/ Rean

Praktisi public relations (PR) tidak akan bisa mencapai era Society 5.0, jika Revolusi Industri 4.0 tidak berjalan. Begitu kata Nia Sarinastiti, Marketing and Communications Director Accenture Indonesia. Sebab, teknologi hanyalah sebagai penunjang (enabler).

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Untuk itu, Nia yang ditemui PR INDONESIA usai mengisi gelar wicara “PERHUMAS Roadshow Goes to Campus: Industry 4.0 + 5.0 Equal Infinity, Is It You?” di Jakarta, Rabu (27/2/2019), berpendapat era Society 5.0 dirasakan masih terlalu jauh untuk tiba masanya sampai di Indonesia.

Penyebabnya, negara kita masih belum mampu menerapkan teknologi 4.0 secara tepat dan menyeluruh. “Bagaimana bisa mencapai Society 5.0, kalau pemerintah dan industrinya tidak terintegrasi satu sama lain?” ujarnya seraya bertanya. “Pemerintah memang menjalankan Revolusi Industri 4.0, tapi masyarakat tidak diikutsertakan, kecuali sebagai konsumen. Itu yang jadi masalah,” imbuhnya.

Permasalahan inilah yang seolah-olah membayangi para praktisi PR di tanah air. Mereka dituntut serba otomatisasi, namun lupa memikirkan implikasinya terhadap masyarakat. Seperti halnya pembangunan moda transportasi canggih, tapi belum terintegrasi antara satu moda transportasi dengan moda transportasi lainnya. “Jadinya tidak membawa manfaat bagi masyarakat,” katanya.

 Padahal, teknologi yang lahir di era Revolusi Industri 4.0 dapat dimanfaatkan untuk mengetahui perkembangan industri ke depan. Seperti halnya big data yang memudahkan kinerja PR memperoleh data-data yang berkaitan dengan stakeholders untuk kemudian diolah ke dalam key messages sesuai dengan kebutuhan masing-masing stakeholders. Sehingga, tidak hanya memberi dampak positif bagi perusahaan, tapi juga bagi masyarakat yang lebih luas. “Untuk itu, pahamilah konsepnya,” ujar Nia.

Satu hal yang penting untuk dipahami adalah teknologi yang berkembang hanyalah sebagai penunjang (enabler) untuk memperoleh sekaligus menyampaikan informasi. Yang paling utama adalah bagaimana PR membangun engagement melalui komunikasi interpersonal. Sebab, ada masa di mana manusia harus beristirahat sejenak dari teknologi dan melakukan komunikasi tatap muka.

Empat Kriteria

Untuk menyikapi perubahan ini, Nia berpendapat, PR harus kembali pada corporate governance atau corporate responsibility. Karena sebenarnya masyarakat tidak pernah mengharapkan perubahan itu terjadi, namun, suka tidak suka harus diarahkan menuju ke sana. Praktisi PR harus mulai berpikir bagaimana cara mengomunikasikan apa yang telah dilakukan oleh perusahaan demi kemajuan masyarakat.

Adapun kriteria yang harus dimiliki PR di era Society 5.0 antara lain bersikap etis, memahami target audiens agar dapat menentukan medium komunikasi yang tepat, memahami implikasi yang akan ditimbulkan dari kegiatan komunikasi, dan mampu mengelola umpan balik (feedback) dari masyarakat. “Ujung tombak komunikasi adalah etika. Tanpa itu, secanggih apapun teknologi yang dipakai akan sia-sia,” ujarnya seraya berpesan agar PR dapat menjadi agen perubahan dalam merespons audiensnya. Tidak memaksakan ego, tanpa memikirkan dampaknya kepada masyarakat. (ais)

Selengkapnya baca PR INDONESIA versi cetak dan SCOOP edisi 48/Maret 2019. Hubungi Sekhudin: 0811-939-027, [email protected]