Harmonisasi Komunikasi: Modal Sosial Bangsa Masih Kuat

PRINDONESIA.CO | Senin, 11/11/2019 | 3.307
Komunikasi yang harmonis yang cocok diterapkan di Indonesia adalah pendekatan kombinasi antara struktural dan kultural.
Aisyah/PR Indonesia

Public relations (PR) memiliki fungsi penting sebagai jembatan komunikasi antara pemerintah dengan masyarakat. Komunikasi yang dibutuhkan pun bukan yang bersifat reaksional, tapi harus dirajut secara terus-menerus.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Propaganda rasis yang berujung pada kerusuhan di Papua beberapa waktu lalu meyadarkan kita akan pentingnya peran PR dan upaya membangun komunikasi yang harmonis. Menurut Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor, peristiwa yang terjadi di Papua adalah repetisi yang akarnya berasal dari distrust. Ketidakpercayaan lahir dari persoalan di masa lampau yang belum tuntas.

Padahal jika ditelusuri, upaya yang dilakukan pemerintah sejak era reformasi untuk Papua sudah jauh lebih baik. Mulai dari kebijakan monumental seperti pemberian otonomi khusus hingga anggaran triliun rupiah untuk membangun infrastruktur. Nyatanya, upaya tadi belum cukup.

Cara pemerintah meredam peristiwa yang sedang memanas kemarin disertai dengan bahasa tubuh dan ekspresi keras, menjadi bukti, komunikasi yang dibangun masih bersifat monolog. Padahal yang dibutuhkan rakyat Papua adalah dialog. “Di sinilah letak pentingnya PR karena mereka memiliki fungsi sebagai massage the message yang bisa membuat orang lain yakin terhadap suatu persoalan sehingga masalah distrust bisa dijembatani,” ujarnya kepada PR INDONESIA di Jakarta, Kamis (19/9/2019).

Ke depan, perlu dibangun upaya yang lebih serius untuk meyakinkan masyarakat Papua bahwa yang dilakukan pemerintah itu tulus. Perlu ada komunikasi yang berkelanjutan dan intens, bukan reaksioner. “Di sinilah PR bisa berkontribusi,” katanya. Untuk menunjukkan tidak hanya kepada rakyat Papua, tapi masyarakat Indonesia dan dunia internasional, bahwa pemerintah sudah melakukan banyak hal untuk mereka dan proses yang harus dilalui untuk menuju kesempurnaan bagi rakyat Papua masih terus dilakukan. Pemerintah juga harus merangkul pemerintah daerah untuk memainkan peranannya sebagai PR bagi kepanjangtanganan dan jembatan komunikasi antara pemerintah dengan rakyat Papua.

 

Modal Sosial

Menurut Firman, masalah yang terjadi di Papua bisa terjadi di mana saja di Indonesia. Karena sudah kodratnya negeri ini lahir dari ras, suku, budaya, dan agama yang beragam. Kondisi inilah yang menyebabkan tanah air rentan konflik. Konflik juga bisa dipicu oleh isu terkait primordialisme yang selalu digunakan politisi untuk menggerakkan massa, pendidikan, dan ekonomi. 

Untuk itu, ia mengimbau pemerintah agar terus mengomunikasikan pentingnya kesatuan dan persatuan, merangkul elit politik untuk menularkan semangat yang sama kepada ranting-ranting di bawahnya, tokoh masyarakat, pemuda, perempuan, hingga media. 

Terlepas dari semua itu, Firman melihat negeri ini masih memiliki modal sosial yang kuat. “Masyarakat kita ini jarang yang ekstrimis. Mereka cenderung in the middle—masih memiliki toleransi. Lihatlah Jakarta, etalase toleransi. Padahal kota ini melting point suku, ras, agama, dan golongan,” imbuhnya.

Adapun cara yang cocok diterapkan di negeri ini untuk mewujudkan komunikasi yang harmonis, menurut pendapat Firman, adalah pendekatan kombinasi antara struktural dan kultural. Pendekatan struktural berupa regulasi yang memberikan kekuatan legal dan mendorong orang untuk berbuat baik. Sementara pendekatan kultural berupa pendidikan yang menanamkan kesadaran. “Saya masih percaya dengan kecerdasan masyarakat dan modal sosial yang kita miliki,” tutupnya.  (mai/rtn)