Disharmonisasi rentan dipicu oleh isu-isu warisan yang berkaitan dengan keberagamanan. Apa yang harus dilakukan?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Manusia sebagai makluk sosial memiliki kebutuhan dasar ingin diterima dan merasa memiliki kelompok tertentu. Itulah sebabnya loyalitas masyarakat Indonesia terhadap kelompok suku atau etnis lebih tinggi daripada loyalitas sebagai orang Indonesia. Meski, Indonesia adalah Bhinneka Tunggal Ika. Kondisi ini menjadikan negeri ini rentan krisis.
Menurut Marsha Imaniara, Manager Consultant Maverick, penanganan krisis yang efektif, termasuk soal disharmonisasi, harus dual track. Yakni,antara komunikasi dengan operasional berjalan beriringan. “Keduanya tidak bisa berdiri sendiri,” ujar perempuan yang ditemui PR INDONESIA di Jakarta, Jumat (20/9/2019). “Tidak mungkin kita mengklaim isunya sudah tertangani dengan baik kalau operasionalnya tidak berjalan dengan baik. Sebaliknya, operasionalnya sudah maju, tapi publik tidak tahu adanya perubahan. Keduanya harus dikelola dalam satu paket,” lanjutnya.
Apalagi saat ini terjadi pergeseran komunikasi. Pertama, komuniksi simbol tidak lagi efektif. Jika dulu Presiden Joko Widodo dikenal dengan komunikasi simbol berupa baju kotak-kotak, blusukan hingga hadir di konser musik untuk menyatakan ia hadir dan peduli. Saat ini, cara tersebut tak lagi relevan. Ketika Presiden menunjukkan kepeduliannya dengan hadir di tengah kebakaran hutan dan lahan disertai wajah murung, masyarakat menilai upaya itu belum cukup. Mereka menagih hasil nyata.
Kedua, pergeseran komunikasi satu arah versus partisipatif. Jika dulu, setiap terjadi krisis, perusahaan segera membentuk perpsepsi publik dengan gencar mendistribusikan berita-berita positif. Strategi itu tak lagi berlaku. Masyarakat menginginkan adanya dialog dan keterlibatan. Untuk itu, instansi/perusahaan harus membuka saluran komunikasi partisipatif yang memungkinkan masyarakat/audiens terlibat untuk memberikan kritik dan masukan. “Input dari publik selanjutnya kita olah dengan efektif sehingga mereka bisa melihat upaya perusahaan membuka akses komunikasi dan komitmen memperbaiki operasional berjalan berdampingan,” katanya.
Petakan
Adapun upaya untuk meminimalisasi terjadinya isu/krisis sosial bisa dilakukan dengan langkah-langkah seperti yang dilakukan oleh instansi/korporasi meski tak sama persis. Ia mengambil contoh krisis yang terjadi di Papua beberapa waktu lalu. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah melakukan pemetaan risiko atau risk mapping. Pertanyananya, apakah saat ini sudah ada kajian mendalam yang benar-benar merumuskan karakteristik, kebutuhan dan keinginan rakyat Papua? “Berbeda dengan Aceh, Papua memiliki banyak elemen yang rentan memicu krisis. Elemen-elemen inilah yang harus kita buat daftarnya dan petakan,” ujarnya.
Selanjutnya, rangkul perwakilan yang merepresentasikan elemen-elemen tadi untuk berdialog dengan pemerintah. Melalui dialog tadi, fasilitasi keinginan dan petakan lagi risiko yang berpotensi krisis. Kemudian, berikan program pemberdayaan atau pelatihan agar mereka memiliki kecakapan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk mewakili pihaknya. Terutama, saat berhadapan dengan krisis. “Khusus krisis Papua yang terjadi kemarin, masalahnya bukan hanya di komunikasi, tapi ada banyak pekerjaan rumah atau operational track yang mesti kita benahi,” ujarnya.
Alangkah baiknya, kata Marsha, praktisi PR ikut bersama-sama berkontribusi meredam disharmonisasi di Indonesia. Apalagi negeri ini memiliki banyak praktisi PR dari akademisi, industri, instansi, organisasi, hingga agensi PR potensial. Agar kolaborasi bisa berjalan efektif, hal pertama yang diperlukan adalah adanya kepemimpinan. Selanjutnya, tiap insan PR mau melepaskan egosektoral. Mulai dari data, petakan akar masalahnya, buat daftar apa yang harus dilakukan. Lalu, road map mengenai tema yang harus dikomunikasikan, susun strateginya. “Jangan mulai dari taktik dan jangan berhenti di gimmick,” pesannya. (mai)
- BERITA TERKAIT
- Komunikasi Publik di Persimpangan: Tantangan dan Peluang Pemerintahan Baru
- Mengelola Komunikasi Publik IKN dalam Masa Transisi
- Komunikasi Publik IKN: Membangun Sinergi Semua "Stakeholder"
- Komunikasi Publik IKN: Tampak Belum Kompak
- Komunikasi Publik IKN: Mengukur Dampak Sosial dan Ekonomi