Digital PR: Pahami dulu Ekosistemnya

PRINDONESIA.CO | Selasa, 26/11/2019 | 2.194
Ketika bicara tentang era digital bukan berarti kita beralih dari satu teknologi ke teknologi lainnya, melainkan menyangkut masalah perubahan budaya atau kebiasaan.
Dok. PR INDONESIA/ Aisyah

Ada tiga kunci utama yang harus dijalankan praktisi public relations (PR) ketika memutuskan untuk bertransformasi ke digital. Yakni, kuasai medan, bangun pemahaman dan budaya, serta komitmen membangun SDM.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Pendiri sekaligus Ketua Indonesia Cyber Security Forum (ICSF) Ardi Sutedja mengungkapkan bahwa saat ini masyarakat tengah dihadapkan pada sebuah perang kognitif. Yakni, perang yang mampu mengubah pola pikir dan nalar seseorang dengan tujuan menggiring opini publik.

Dalam kondisi peperangan, kita dituntut untuk menguasai medan atau biasa disebut situation awareness. Pada kasus ini, PR harus menyadari dengan siapa mereka sedang berhadapan, seperti apa lingkungannya, serta alat penunjang/senjata yang diperlukan. “Banyak hal terkait teknologi yang sebenarnya tidak kita kuasai, hanya sekadar tahu tanpa pernah melakukan riset mendalam terkait manfaatnya,” ujar CEO dan founder Media Solution International-Indonesia itu ketika ditemui PR INDONESIA secara khusus di Jakarta, Selasa (8/10/2019).

Padahal, ketika bicara tentang era digital bukan berarti kita beralih dari satu teknologi ke teknologi lainnya, melainkan menyangkut masalah perubahan budaya atau kebiasaan. Jika pada awalnya semua aktivitas dijalankan dengan cara manual, kini melalui konektivitas/otomatisasi. Namun, bukan berarti menghilangkan tenaga kerja. Justru lebih efisien, sementara tenaga kerja yang sudah ada makin optimal.

Perangkat teknologi yang sedang tumbuh secara progresif di Indonesia antara lain, big data, kecerdasan buatan, blockchain, hingga financial technology merupakan contoh teknologi penunjang yang dinilai dapat memudahkan kerja PR.  Namun, penting untuk dicermati, teknologi hanya berperan 10 persen dalam menyukseskan program PR. Selebihnya, 90 persen keberhasilan bertumpu pada soft skill atau kemampuan manusia sebagai brainware. “Mulai dari sumber daya, pengalaman, dan jejaring, semua itu ada di dalam otak manusia. Teknologi hanya pendukung,” jelasnya.

Untuk itu, Ardi memandang PR sebagai sebuah profesi yang strategis. PR akan banyak dicari, dan bernilai mahal di masa mendatang. Sebab, disiplin ilmu kehumasan sifatnya luas dan menyeluruh. Dengan catatan, praktisi PR harus memiliki kemampuan adaptasi, memahami situation awareness, mengerti budaya dan ekosistem, jejaring, serta pandai melakukan lobbying. Diakuinya, kelemahan terbesar praktisi PR di era digital ialah mengenal industri digital sebatas kulit luarnya saja. Tidak mencoba masuk lebih dalam, bergaul, sekaligus merasakan langsung sensasi pelaku industri digital itu sendiri. Untuk itu, Ardi berpesan agar sebisa mungkin libatkan diri kita dengan cara mendalami ekosistem industri digital dan bangun jejaring dengan para ekspertis di bidang teknologi.   

 

Enam Tahap

Ibarat anak tangga, proses transformasi digital harus melalui enam tahapan anak tangga. Pertama, business as usual. Pada tahap awal, organisasi dijalankan dengan perspektif lama yang sudah jamak diketahui dan dianggap masih relevan dengan perkembangan digital. Kedua, present and active. Berbagai eksperimen yang dilakukan mampu membawa organisasi ke arah literasi digital dan kreativitas, sambil meningkatkan dan memperkuat titik sentuh tertentu. Ketiga, formalized. Berbagai percobaan lebih terencana. Eksekusi menjadi lebih menjanjikan. Tingkat kemampuan menjadi lebih berani. Agen perubahan mencari dukungan dari pemimpin untuk sumber daya baru dan teknologi.

Keempat, strategic. Kelompok individu menyadari kekuatan kolaborasi baik untuk penelitian mereka, pekerjaan, maupun berbagi wawasan untuk menghasilkan roadmap teransformasi digital baru, kepemilikan, usaha, dan investasi. Kelima, converged (terpusat). Tim khusus transformasi digital dibentuk untuk memandu strategi dan operasional yang berdasarkan pada tujuan bisnis serta pelanggan. Sedangkan infrastruktur baru membentuk peraturan, para ahli, model, proses dan sistem untuk mendukung transformasi. Keenam, inovasi dan adaptasi. Transformasi digital kini menjadi cara baru dalam berbisnis, dan para eksekutif serta ahli menyadari bahwa perubahan ini bersifat statis. Yakni, sebuah ekosistem baru diciptakan atas dasar teknologi dan tren pasar. (ais)