Menakar Arah Komunikasi Presiden Jilid Kedua: Humas Perlu Reformasi Struktural

PRINDONESIA.CO | Rabu, 08/01/2020 | 1.969
Presiden menilai di tengah dunia yang kian kompetitif, peran humas menjadi sangat sentral dan penting.
Dok. PR INDONESIA

Bicara soal strategi komunikasi publik di era Presiden Joko Widodo jilid kedua, baru akan berhasil jika diikuti dengan reformasi struktur organisasi.

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Di era pemerintahan Joko Widodo jilid pertama, Presiden kerap mengeluhkan kinerja humas pemerintah yang dinilai lambat dan tidak responsif. Seperti yang pernah disampaikan oleh Presiden di Istana Negara, Kamis 4 Februari 2016. Di hadapan humas kementerian, lembaga non-kementerian dan BUMN, Presiden menyampaikan dengan tegas tak ingin lagi mendengar ada masyarakat yang mengeluh sulit menemui humas. Humas pemerintah pun diminta untuk menanggalkan cara-cara lama dalam menyampaikan informasi.

Presiden menilai di tengah dunia yang kian kompetitif, peran humas menjadi sangat sentral dan penting. Terutama, dalam hal membangun trust dan reputasi. Humaslah yang memegang peranan dalam menyosialisasikan pesan positif dan prestasi lembaganya kepada publik.

Realitanya, publik masih kerap menyaksikan antara kementerian/lembaga tidak akur atau tak satu suara. Dan, banyak lagi komunikasi publik yang buruk. Padahal, hal ini seharusnya dapat dihindari dengan adanya komunikasi yang baik dari humas dengan pimpinan. Menurut Kabag Opini Publik, Produksi Komunikasi, dan Peliputan Kementerian Kesehatan Anjari Umarjianto, boleh jadi kondisi ini terjadi karena humas tidak mendapat peran, fungsi, dan kedudukan yang strategis di institusi/lembaganya masing-masing. “Kalau fungsionalnya digeber, sementara strukturalnya tidak cukup memiliki kedudukan yang baik—humas tidak ditempatkan di level strategis—percuma,” katanya.

Untuk itu, pria yang dijumpai PR INDONESIA di Jakarta, Kamis (14/11/2019), ini menyambut baik rencana Presiden melakukan reformasi birokrasi. Pria yang juga merupakan Ketua Perhumasri itu berpendapat inilah momentum yang tepat bagi humas pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi. Asalkan, reformasi tersebut tak hanya sekadar perombakan dari segi fungsi, tapi juga struktur organisasi. Jika tidak, Anjari memastikan problematika komunikasi publik yang selama ini terjadi di jilid pertama pemerintahan Jokowi akan terulang.

Apalagi dengan adanya variasi struktur humas antarkementerian baik dari segi besaran maupun nomenklatur. “Ada kementerian dan lembaga yang memiliki struktur humas yang besar, banyak juga yang sebaliknya,” katanya. Nama struktur organisasi di setiap K/L pun berbedabeda. Dari Biro Komunikasi dan Layanan Publik, Biro Komunikasi dan Layanan Informasi, Biro Hukum dan Humas, sampai Pusat Informasi. Selain itu, ada humas kementerian yang berada di level eselon 2, ada pula yang posisinya tak cukup strategis dan berada di eselon 3.

Kondisi inilah yang kemudian menimbulkan adanya kesenjangan dan melahirkan bibit-bibit ketidaksinkronan. Misal, ada humas dari kementerian yang menghubungi humas kementerian lain untuk berkoordinasi. Tapi, dilempar ke bagian lain dengan alasan informasi yang diminta tidak berada atau bukan bagian dari tugas mereka. “Nah, bagaimana humas pemerintah mau menjalankan amanah Presiden agar dalam menyampaikan informasi tidak sekadar sent, tapi juga harus deliver? Sementara untuk berkoordinasi saja sulit,” imbuhnya.

 

Jubir

Mencermati hal tersebut, Anjari memandang perlu adanya juru bicara disetiap K/L. “Saat ini ada 34 kementerian.  Seharusnya, ada 34 juru bicara pula yang dikenal publik,” ujarnya. Ia pun menyambut baik Surat Edaran  Nomor 480/3502/SJ kepada Gubernur dan 480/3503/SJ kepada Bupati/Walikota tentang Penunjukan Juru Bicara di Lingkungan Pemerintah Daerah yang diterbitkan Kementerian Dalam Negeri tanggal 6 Mei 2019. “Tidak masalah jika jabatan humas yang bersangkutan hanya kepala biro, asalkan sudah dibekali SK untuk menjadi juru bicara. Jadi, secara administratif kepala biro, namun secara substansi sudah setingkat eselon 1,” katanya.

Memang bukan perkara mudah. Perlu ada strategi nasional dan komitmen besar dari lintas kementerian. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi dan Kementerian Komunikasi dan Informatika harus duduk bersama. “Mungkin tidak bisa semuanya seragam. Tapi, minimal ada kesamaan pola, nomenklatur, organisasi, rekrutmen, hingga penetapan juru bicara,” imbuh Anjari. Meskipun harus melalui proses panjang, Anjari optimistis reformasi struktural ini dapat dilakukan. (rvh/rtn)