ROUND UP: Tantangan PR 2020 Semakin Beragam

PRINDONESIA.CO | Senin, 03/02/2020 | 3.339
PR diprediksi akan lebih banyak menggunakan teknologi untuk melakukan social listening, menganalisis kinerja situs/laman, dan manajemen media sosial.
Dok. cdn.ragan.com

Di era digital, semua tren mengarah dan tak terlepas dari pemanfaatan teknologi. Tak terkecuali public relations (PR). Pertanyaannya, apakah mengikuti tren adalah harga mati? Apakah PR sudah memiliki kompetensi tersebut? Atau, ada hal lain yang lebih penting daripada sekadar mengikuti tren?

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Pertanyaan-pertanyaan itulah yang coba dibedah oleh PR INDONESIA membuka awal tahun 2020. Tim redaksi mewawancarai delapan narasumber dari berbagai latar belakang. Ada yang mewakili humas pemerintah, korporat, agensi PR, hingga akademisi. 

Future Jobs Report 2018 dari World Economic Forum merilis Lanskap Pekerjaan Tahun 2022. Sepuluh urutan tertinggi berkaitan dengan ahli data dan teknologi. Seperti, analis data dan spesialis, spesialis kecerdasan buatan dan machine learning, spesialis big data, software and applications developers and analysts, hingga spesialis transformasi digital. Laporan ini telah memberikan gambaran nyata bahwa cara dunia bekerja sudah berubah, demikian pula public relations.

Menurut Jojo S. Nugroho, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI), berdasarkan “2019 Global Communications Report yang dirilis oleh USC Annenberg Center for Public Relations”, PR diprediksi akan lebih banyak menggunakan teknologi untuk melakukan social listening, menganalisis kinerja situs/laman, dan manajemen media sosial.

Karena latar belakang itu pula, praktisi PR harus mengembangkan kemampuan menerjemahkan data menjadi strategi dan aksi. Dengan menggunakan kecerdasan buatan, PR dapat memberikan masukan terhadap kebijakan, membantu keputusan-keputusan penting yang perlu diambil perusahaan, dan mendorong perubahan perilaku secara lebih tepat.

 

Kompetensi Baru

Pada akhirnya, perubahan zaman menuntut PR untuk memiliki kompetensi-kompetensi baru. PR INDONESIA Guru yang merupakan founder EGA briefings, Elizabeth Goenawan Ananto, bahkan membagi kompetensi baru yang harus dimiliki PR itu ke dalam tiga tingkatan. Tingkatan pertama, untuk praktisi pemula. PR di level ini harus meningkatkan kompetensi berbasis IT dan memiliki keingintahuan yang tinggi (intellectual capacity).

Tingkatan kedua, PR manajerial. Pada tingkat ini, PR perlu memahami manfaat data yang diperoleh dari riset, kemampuan analisa dan interpretasi, serta koordinasi dengan pihak terkait. Sementara pada tingkatan ketiga, atau PR strategis, mereka harus memiliki kedekatan dengan CEO atau pengambil keputusan, kemampuan berpikir seolah team leader, bukan sekadar praktisi komunikasi, dan memberi masukan. 

Sementara menurut Ketua Asosiasi Pendidikan Tinggi Ilmu Komunikasi (ASPIKOM) Muhammad Sulhan, dekatnya cara kerja PR dengan teknologi dan data membuat PR harus bisa menganalisis data, membaca angka, memberi tafsir atas angka, dan meresponnya dengan baik, lalu mengemasnya menjadi informasi yang mudah dipahami. 

Adanya perubahan tren ke arah pemanfaatan teknologi juga turut membuat dunia akademisi berbenah agar melahirkan lulusan berkualitas yang relevan dengan kebutuhan industri. Director Communication & Alumni Relations SBM ITB Nurlaela Arief menyorot hal-hal fundamental basic professional PR yang tetap harus dimiliki PR, di samping empat skill baru seperti data analytics, influencer, media social handling, dan pembuatan konten. Namun, di antara semuanya, yang paling penting adalah kemampuan analisis data disertai komunikasi yang efektif dan clear.

 

Kolaborasi

Selain soal kompetensi baru, tren yang mengemuka di tahun ini adalah makin terbukanya peluang kolaborasi. Untuk agensi PR, misalnya, Jojo memprediksi akan semakin banyak agensi menawarkan sesuatu yang berbeda sebagai nilai tambah. Tetapi, mustahil menjadi yang terbaik dalam segala hal. “Lewat kolaborasi, agensi PR dapat saling mengisi dan mendukung satu sama lain sesuai dengan keahlian bidang masing-masing demi mencapai tujuan klien,”ujarnya.

Sementara Nutrifood sudah aktif berkolaborasi dalam tiga tahun terakhir. Seperti, saat mengadakan kampanye kesehatan. Ketika itu, mereka berkolaborasi mulai dari komunitas kesehatan hingga crowdfunding platform. Kolaborasi juga dilakukan saat mereka memproduksi web-series. Kolaborasi pun diimplementasikan di kalangan internal lintas departemen. Menurut PR, Event and Sustainable Development Manager Nutrifood Arninta Puspitasari, tahun ini divisinya akan semakin terintegrasi dengan divisi lain, terutama bersama marketing, human resources dan sustainable development. Tujuannya, agar pesan sampai secara holistik.

Begitu pula di lingkungan humas pemerintah. Kepala Biro Humas dan Protokol Sekretaris Daerah Provinsi Sulawesi Selatan Devo Khaddafi memprediksi akan semakin banyak kolaborasi dan sinergi antara insan humas baik di pemerintah daerah, SKPD, perguruan tinggi, instansi vertikal, BUMN, hingga BUMD. Tujuannya, tak lain untuk mengonter isu yang merugikan dan hoaks.

 

Prioritas

Meski sedang berada di tengah gempita pesatnya perkembangan teknologi dan digital, CEO DJE Holdings Indonesia (Edelman Indonesia and Zeno Group Indonesia) Radityo Prabowo mengajak pelaku PR agar tidak melupakan pentingnya membangun trust dengan internal karyawan.

Sebab, berdasarkan 20th Edition of the Edelman Trust Barometer yang rencananya akan diumumkan Februari mendatang, sumber yang dianggap paling kredibel di mata publik adalah karyawan. Terutama tim ahli dari perusahaan yang bersangkutan. Untuk itu, penting bagi perusahaan mendapatkan trust dari karyawan. “Membangun trust dari employee sebagai garda terdepan perusahaan, secara tidak langsung memproteksi kesuksesan bisnis, membantu operasional lebih efesien dan keberlangsungan usaha,” ujarnya. 

Presiden Direktur Kiroyan Partners Verlyana V. Hitipeuw sependapat. Setiap menjelang tahun baru, kita kerap terjebak ke dalam euforia tren. Menurutnya, tidak ada yang salah dengan itu karena mengetahui tren yang sedang berkembang itu adalah keharusan. Yang salah adalah ketika mereka lupa melakukan evaluasi kinerja komunikasi di tahun sebelumnya.

Jangan buru-buru memutuskan mengikuti tren. Tren juga tidak selalu identik dengan melakukan hal yang baru. “Setelah dievaluasi, bisa jadi hasilnya ternyata kita hanya perlu memperbaiki kegiatan komunikasi yang selama ini sudah dilakukan,” imbuh Veve, sapaan karib Verlyana di Jakarta, Rabu (15/1/2020).

Atau, bisa jadi yang harus menjadi prioritas adalah peningkatan kompetensi SDM. Seperti yang dialami oleh humas pemerintah, termasuk di daerah, di mana digitalisasi masih menjadi isu utama.

Pada akhirnya, dengan melakukan evaluasi, PR dapat lebih fokus dalam bekerja. Sebab, pendekatan yang digunakan adalah sniper approach. Tidak perlu mengeluarkan banyak “peluru”, tenaga, dan upaya besar, tapi efektif. Dan yang paling penting, sesuai target. (Ratna Kartika)