Tahun 2020, internal karyawan lebih berperan dalam membangun reputasi perusahaan di mata pemangku kepentingan dan publik.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Kesimpulan ini mengerucut setelah mengamati dinamika public relations (PR) sepanjang tahun 2019. Menurut CEO DJE Holdings Indonesia (Edelman Indonesia and Zeno Group Indonesia) Radityo Prabowo, berdasarkan 20th Edition of the Edelman Trust Barometer yang rencananya akan diumumkan Februari mendatang, ada dua hal yang menarik perhatian.
Pertama, tingkat mengonsumsi berita berikut engagement-nya berupa komentar, like dan share, naik 26 poin ketimbang tahun sebelumnya. Meningkatnya engagement, menurut Radit—sapaan Radityo—adalah kompensasi dari banyaknya informasi hoaks dan fake news. “Jadi, ketika pembaca menemukan berita yang kredibel, mereka bersedia untuk berbagi (share),” ujarnya seraya menambahkan, pada tahun 2019, publik sudah lebih cermat dalam menghadapi hoaks.
Kedua, survei membuktikan sumber yang dianggap paling kredibel di mata publik adalah karyawan. Terutama tim ahli dari perusahaan yang bersangkutan. Untuk itu, penting bagi perusahaan mendapatkan trust dari karyawan. “Membangun trust dari employee sebagai garda terdepan perusahaan, secara tidak langsung memproteksi kesuksesan bisnis, membantu operasional lebih efesien, dan keberlangsungan usaha,” ujarnya. Adapun cara yang bisa diterapkan agar karyawan dapat menjadi pelindung perusahaan antara lain melalui engagement, leadership, dan culture program.
Yang menarik, CEO justru berada di urutan keenam sebagai sumber yang dianggap kredibel oleh publik. Namun, fakta ini jangan kemudian diabaikan. Justru harus menjadi peluang. Karena ternyata, ekspektasi publik terhadap perusahaan sebagai agen perubahan itu lebih tinggi dibandingkan kepada pemerintah. “Pelopor perubahan itu datangnya harus dari CEO,” katanya.
Radit lantas berbagi cara Edelman memformulasikan strategi komunikasi untuk CEO berdasarkan conversation crowd. Cara ini mengacu pada Executive Trust Management dari Edelman Intelligence, lini bisnis Edelman. Langkah pertama, lakukan pemetaan. Seperti apa persepsi publik terhadap CEO. Lalu, bandingkan persepsi CEO kita dengan CEO lain di industri yang sama. Kedua, analisis seperti apa CEO mengelola akun media sosial. Selanjutnya, gunakan data yang terhimpun untuk mencari peluang bagi PR dalam membangun profil CEO di ranah yang tepat dan belum disentuh kompetitor.
3 C
Lainnya yang harus menjadi perhatian adalah cara PR mengemas pesan akan semakin menantang di tahun 2020. Mulai dari membuat konten, menentukan relevansi, hingga mengemas data tersebut secara kreatif. “Rumusnya 3 C. Content is the king, context is the queen, creativity is the princess,” ujarnya.
Sementara kemampuan menganalisis data, tak bisa dimungkiri, sudah menjadi kompetensi wajib bagi PR. Untuk itu, praktisi PR hendaknya bersahabat dengan angka. “Kompetensi sekaligus keunggulan PR adalah, ia tidak hanya dituntut mampu membaca data, tapi juga bisa mengintepretasikannya,” katanya. Di samping, kewajiban lainnya seperti harus memahami bisnis perusahaan dari hulu ke hilir, mengikuti dan memahami kebijakan serta peraturan terkait perlindungan data pribadi, hingga terbuka terhadap peluang kolaborasi. Khusus untuk agensi PR, seperti Edelman, hal yang tak kalah penting adalah menjalankan aktivitasnya dengan menjunjung tinggi etika PR. (rvh/rtn)
- BERITA TERKAIT
- Komunikasi Publik di Persimpangan: Tantangan dan Peluang Pemerintahan Baru
- Mengelola Komunikasi Publik IKN dalam Masa Transisi
- Komunikasi Publik IKN: Membangun Sinergi Semua "Stakeholder"
- Komunikasi Publik IKN: Tampak Belum Kompak
- Komunikasi Publik IKN: Mengukur Dampak Sosial dan Ekonomi