.jpg&w=750)
Pada dasarnya persyaratan penanganan krisis yang efektif terdiri atas tiga hal. Antara lain, kepemimpinan yang kuat, panduan komunikasi, serta tim yang kompeten untuk menangani komunikasi krisis.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Di saat negara sedang mengatasi penyebaran wabah Coronavirus Disease (Covid-19), negeri ini juga dihadapkan pada krisis lain. Yakni, krisis komunikasi tingkat nasional. Maria Wongsonagoro, President Director of IPM Public Relations, berpendapat dalam menangani krisis komunikasi ibaratnya pementasan orkestra. Perlu dirigen andal yang mampu memandu setiap nada yang keluar dari instrumennya.
Dirigen yang dimaksud oleh Maria adalah sosok communications lead. Kehadirannya mutlak dibutuhkan sebagai koordinator semua bentuk komunikasi yang disampaikan kepada publik. “Ini suatu tugas yang berat sekali,” ujar salah satu PR INDONESIA Guru itu dalam forum Kopi Darat PR Rembuk ke-6 di Jakarta, Kamis (6/2/2020). Sosok inilah yang belum ia temukan di pemerintah dalam menangani kasus Covid-19. Sekadar informasi, siang harinya, masih di hari yang sama, pemerintah akhirnya secara resmi mengumumkan KSP sebagai communications lead penanganan pandemi Covid-19.
Maria lantas menjabarkan serangkaian tugas berat yang harus diemban oleh communications lead. Pertama, mengoordinasikan semua komunikasi tentang krisis ke dalam satu pintu. Kedua, mengumpulkan semua informasi dan bahan yang dibutuhkan terkait krisis, membuat analisis, skenario, hingga strategi komunikasi dari waktu ke waktu sesuai perkembangan krisis.
Ketiga, membuat dokumen arahan (briefing document). Yakni, dokumen yang mengatur mengenai strategi komunikasi, pesan kunci dan holding statement. “Di dalam sebuah perusahaan lokal, semua bentuk komunikasi krisis telah ditentukan atau tertulis di dalam briefing document,” ujarnya.
Simulasi
Semua informasi satu pintu hanya keluar dari communications lead yang telah ditunjuk. Dengan catatan, yang bersangkutan haruslah orang yang terlatih dalam menyampaikan pesan/informasi krisis di hadapan para pewarta. Jauh sebelum krisis terjadi, communications lead seharusnya diberikan pelatihan manajemen krisis dan crisis communications lead.
Prosedur inilah yang dikenal sebagai manajemen isu. Yaitu, komunikasi proaktif dalam menangani isu sebelum berkembang menjadi krisis. Upaya ini bisa dilatih, salah satunya dengan melakukan simulasi. “Jika selama ini kita mengenal simulasi bencana alam, maka simulasi komunikasi juga harus ada,” katanya, tegas.
Maria tak memungkiri memang tak mudah memberikan pemahaman kepada praktisi komunikasi apalagi pemimpin tentang pentingnya melakukan manajemen isu atau simulasi komunikasi. “Mereka cenderung menganggap remeh terhadap hal yang belum tentu terjadi,” katanya. Tak kalah penting, mengaktifkan pusat krisis. Dari sinilah semua informasi keluar dan masuk. “Harus satu pintu,” katanya. Lainnya yang perlu dilakukan, menyiapkan fasilitator bahan, sistem pemantauan, menugaskan staf, menyediakan ruang khusus bagi media, hingga menyiapkan materi dan konten komunikasi yang disusul dengan siaran pers. Lalu, secara berkala memberikan laporan kepada pihak-pihak yang dianggap perlu mengetahui tentang perkembangan krisis.
Langkah terakhir, namun sering diabaikan, adalah membuat laporan postmortem. Mulai dari penanganan krisis dan komunikasi krisis, analisis pemberitaan media, persepsi stakeholders berdasarkan survei pascakrisis. “Laporan ini harus disampaikan kepada semua pihak yang terkait,” pungkasnya. (ais)
- BERITA TERKAIT
- Transformasi Praktik PR di Tengah Kemajuan AI
- "Flexing", Gagapnya Komunikasi Internal, dan Peran PR Mengelola Reputasi
- Fenomena "Flexing" dan Gagalnya Penerapan "Good Governance"
- "Flexing", Hobi yang Mempertaruhkan Reputasi Organisasi
- Kenali Jenis "Flexing", Pintu Gerbang Korupsi