(Masih) Darurat Komunikasi Publik: Ini Penyebab Kacaunya Komunikasi Publik

PRINDONESIA.CO | Rabu, 29/04/2020 | 1.631
Kelembagaan komunikasi prlu dibenahi secara mendasar, bukan saja sebagai penyampai berita, tetapi early warning system.
Freandy/PR INDONESIA

Banyaknya pejabat yang berbicara dan mempertontonkan aksi saling bantah di depan publik di tengah pandemi Covid-19 menimbulkan keprihatinan PR INDONESIA Guru, Elizabeth Goenawan Ananto. 

 

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Menurut Ega, begitu Elizabeth karib disapa, secara tertulis, Selasa (14/4/2020), hal ini bisa terjadi karena beberapa alasan. Pertama, pemahaman yang terbatas. Tidak mampu melihat dampak masalah yang kompleks dan dalam waktu singkat. Kedua, kurang koordinasi dengan lembaga terkait untuk mengantisipasi kompleksitas dampak dari kebijakan. Ketiga, adanya ego dari pejabat itu sendiri tanpa memedulikan kebingungan masyarakat. 

Lainnya, boleh jadi karena keengganan belajar dari keberhasilan atau kesalahan terdahulu. “Mungkin karena dokumentasi tidak terkumpul dengan baik, tidak dievaluasi, tidak dibuat blue print strategi penanganan bencana. Hanya berupa pertanggungjawaban kegiatan (ouput),” kata founder EGA briefings ini, berasumsi. 

Ia juga melihat intensitas saling bantah, perbedaan pandangan dan kebijakan, tidak menurun meski Presiden RI Joko Widodo sudah menunjuk juru bicara pemerintah dan Gugus Tugas Percepatan Penanangan Covid-19. Kondisi ini menggambarkan, koordinasi internal tidak berjalan dengan baik. “Data, kebijakan, harus disamakan dulu sebagai inti konten penyampai pesan,” ujar Direktur Program MM Komunikasi Universitas Trisakti.

Kondisi itu juga menunjukkan pemerintah tidak memiliki cukup waktu melakukan perencanaan komunikasi. Alhasil, dalam situasi panik dan terdesak, keluar produk komunikasi yang tidak efektif. “Bukannya menambah informasi malah membuat masyarakat bingung,” sesalnya. 

Ia berharap tim komunikasi pemerintah dapat segera menyadari kekacauan komunikasi ini. Kekacauan yang disebabkan oleh tiga hal: collaborative leadership, leadership communication, dan integrated function yang tidak berjalan dengan baik. “Di tingkat atas (collaborative leadership), kebijakan komunikasi khusus menangani situasi krisis perlu disepakati dan dibuat SOP-nya,” kata anggota Arthur W. Page Society itu. 

Untuk itu harus segera memetakan masalah dan melibatkan sektor-sektor pemerintah hingga tingkat daerah. Sehingga, tidak terjadi kontradiksi yang berujung pada ketidakselarasan pesan. Perlu tim yang kuat yang dapat merumuskan strategi komunikasi dengan tepat baik dari segi waktu, konten, maupun cara penyampaiannya kepada publik. “Pastinya, jangan berbohong, mengabaikan isu, memberikan harapan kosong, dan menyentuh isu sensitif,” ujarnya. “Kembangkanlah what if scenario, siapkan pesan kunci padat dan jelas, kedepankan empati dan bahasa yang menyejukkan,” imbuhnya. 

 

“Whats Next”

Memang tidak mudah. Selalu ada rintangan. Pada tahap isu, misalnya, tidak semua orang peka, melakukan antisipasi, dan mempersiapkan skenario terburuk—yang dalam ilmu PR disebut enviromental scanning. Kedua, tidak semua orang memiliki kemampuan membaca data, mengintrepretasikannya, membuat rencana untuk melokalisasi isu, lalu menurunkan risikonya. “Yang sering terjadi, tim krisis mengalami krisis di internalnya sendiri,” ujarnya.  

Terakhir, whats next. “Terlepas dari masalah pandemi, kehidupan masyarakat harus tetap berjalan,” kata Ega. Lakukan edukasi publik. Rangkul media untuk bersama-sama meningkatkan semangat publik. Beri informasi yang menginspirasi agar masyarakat dapat bertahan hidup selama masa darurat ini. Buat pesan komunikasi untuk periode recovery seperti pentingnya mematuhi imbauan pemerintah, meningkatkan daya tahan tubuh, kebersamaan, dan kesetiakawanan sosial.

Kepada tim komunikasi pemerintah, khususnya sektor kebijakan komunikasi publik, Ega berpesan, jadikan peristiwa ini sebagai pelajaran mengenai pentingnya peran dan fungsi komunikasi publik yang terintegrasi. “Kelembagaan komunikasi perlu dibenahi secara mendasar, bukan saja sebagai penyampai berita, tetapi early warning system,” ujar founder IPRS ini.

Mereka dapat mendiagnosis masalah, memberikan masukan, dan integrator yang mampu mengondisikan serta mendorong terjadinya kebijakan satu pintu. Sehingga, tak ada lagi pernyataan kontradiktif di antara pejabat pemerintah. (rtn)