Informasi adalah senjata penting bagi public relations (PR). Jika dikemas dan dikelola dengan baik serta akuntabel, akan membuat PR begitu powerful.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Akuntabilitas mengelola informasi menuntut praktisi PR untuk bersikap terbuka. Siapapun, publik, punya hak untuk mengakses sebuah informasi, terlebih dari badan atau organisasi publik. Asas keterbukaan terhadap akses informasi publik inilah yang antara lain menjadi semangat pengaturan UU Keterbukaan Informasi Publik. Ada ataupun tidak ada pengaturan pun, sejatinya PR tidak boleh tidak terbuka kepada publik soal informasi.
Keterbukaan mensyaratkan pula adanya kejujuran dan kebenaran. Informasi yang disampaikan secara terbuka tanpa dilandasi kejujuran, apalagi faktanya tidak akurat, tentu hanya akan menyeret persoalan bagi organisasi/korporasi yang menyampaikannya. Bahkan memantik krisis, karena ketidakjelasan dan kesimpangsiuran informasi, menjadi sumber lahirnya hoaks. Yang pada gilirannya sangat mungkin menjadi pintu bagi lahirnya krisis.
“Bapak PR” dunia, Ivy Lee, pernah mengatakan tentang pentingnya informasi yang jujur/benar dan akurat. Dua hal itu, kejujuran dan fakta yang akurat, menjadi bagian dari pemenuhan etika seorang PR. Oleh karenanya, menjaga setiap informasi yang disampaikan kepada audiens berlangsung secara terbuka serta mengandung fakta akurat dan kejujuran, sangat penting. Setidaknya untuk empat hal berikut ini.
Pertama, keterbukaan informasi yang disampaikan PR, membuat persepsi publik lebih baik kepada organisasi/korporasi bersangkutan. Potensi rumor atau isu liar bisa diminimalisir. Bahkan sangat mungkin tidak timbul ke permukaan, karena fungsi manajemen isu semakin menguat berkat adanya keterbukaan informasi kepada publik.
Kedua, informasi yang disampaikan secara terbuka, menunjukkan organisasi/korporasi punya kepercayaan tinggi dan siap melayani publik. Pada umumnya, organisasi/korporasi, atau bahkan individu seorang pemimpin, akan cenderung membatasi akses informasi yang dimilikinya ketika tahu bahwa dirinya bersalah. Setidaknya, berpotensi memiliki masalah. Sehingga ia tidak siap membuka diri kepada publik. Hal ini berbeda dengan individu/organisasi/korporasi yang bersih. Tidak punya masalah (besar). Mereka akan lebih siap menerima respons balik dari audiens ketika membuka lebar-lebar akses informasi dan penyampaian informasinya kepada publik.
Berfaedah
Ketiga, membuka informasi kepada publik, menjadikan organisasi/korporasi memberi peluang publik untuk terlibat dalam interaksi dan aktivitas yang diselenggarakan. Sehingga akan meningkatkan kualitas interaksi dengan publik. Semakin besar audiens terlibat dalam berbagai aktivitas dan program yang diselenggarakan organisasi/korporasi, menandakan semakin tingginya tingkat kepercayaan audiens. Hal ini merupakan dampak positif dari keterbukaan informasi yang diberikan oleh organisasi/korporasi tersebut. Demikian pula sebaliknya. Dengan kata lain, kepercayaan (trust) publik sangat dipengaruhi oleh tingkat keterbukaan informasi dari korporasi/organisasi.
Keempat, membuka akses informasi kepada publik akan membuat PR organisasi/korporasi terdorong menyiapkan informasi/konten yang berkualitas, kredibel, sert berfaedah bagi publik. Sekadar terbuka menyampaikan informasi saja kepada publik, tentu belum cukup. Namun juga dibutuhkan kemasan produk informasi yang kredibel dan berkualitas. Sekaligus berguna dan bermanfaat.
Yang terjadi kemudian adalah kompetisi kreativitas produk informasi publik yang semakin relevan dan dibutuhkan audiens. Jika iklim kreatif yang kompetitif namun sekaligus kolaboratif bisa diciptakan secara berkelanjutan, rasanya aktivitas PR organisasi/korporasi itu sudah benar-benar merawat pesan Ivy Lee di atas. Menjadi beyond public relations. Semoga! (Asmono Wikan)
- BERITA TERKAIT
- Kesenjangan Antara Teori dan Praktik
- Pentingnya Sebuah Etika dalam Setiap Kehidupan
- Strategi dan Kreativitas Kampanye Pemilu
- Kekuasaan Tidak Pernah Abadi
- Membawa Pesan Komunikasi yang Jernih Jelang Pemilu 2024