Stakeholder mapping menjadi salah satu tahapan dalam merancang strategi komunikasi yang harus dilakukan dengan cermat. Upaya ini terasa makin menantang di tengah dinamika isu dan keinginan para pemangku kepentingan yang terus berevolusi.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Proses memetakan para pemangku kepentingan mulai dikenal sejak dipopulerkan oleh Edward Freeman dalam bukunya Strategic Management: A Stakeholder Approach. Teori yang kemudian dikenal dengan istilah stakeholders mapping ini dimulai dari pertanyaan “Apa cara dan saluran yang paling ampuh ketika perusahaan akan membangun relasi dan berkomunikasi dengan pemangku kepentingan?”
Namun, proses melakukan pemetaan tidak semudah yang dibayangkan. Ada berbagai faktor yang kerap membuat para pelaku public relations (PR) kesulitan untuk menentukan stakeholder kunci dengan cermat. Faktor tersebut ternyata tidak melulu bersumber dari isu yang sedang dihadapi, melainkan datang dari lingkungan internal. Pada akhirnya, PR terjebak ke dalam beberapa bias.
Isu bias ini pernah diulas secara mendalam di salah satu rubrik PR INDONESIA pada tahun 2019 oleh Anton Rizki Sulaiman yang ketika itu masih menjabat sebagai Managing Director Kiroyan Partners. Pria yang kini merupakan Head of Communications PT Austindo Nusantara Jaya Tbk tersebut menguraikan empat jenis bias yang mesti diwaspadai PR. Terdiri dari power bias, interest bias, elite bias, dan purpose bias.
- BERITA TERKAIT
- Komunikasi Publik di Persimpangan: Tantangan dan Peluang Pemerintahan Baru
- Mengelola Komunikasi Publik IKN dalam Masa Transisi
- Komunikasi Publik IKN: Membangun Sinergi Semua "Stakeholder"
- Komunikasi Publik IKN: Tampak Belum Kompak
- Komunikasi Publik IKN: Mengukur Dampak Sosial dan Ekonomi